Asli, gua suka tulisan ini. Sebuah tulisan yang mungkin menambah cakrawala berpikir dan pandangan terhadap agama orang lain. Tulisan ini saya share dari uniqpost.com. Semoga menjadi inspirasi.
” Di
milis, kerap kita jumpai posting berbau agama. Atau perdebatan yang
menjurus pada perdebatan soal agama. Kadang perdebatannya begitu panas.
Sindir-menyindir atau ejek mengejek. Buat saya itu menyedihkan.
Saya teringat waktu lebih dari
15 tahun yang lalu belajar di Jogja. Waktu itu, tiap Rabu malam, saya
dan teman-teman memilih nglurug ke patang puluhan, rumahnya Cak Nun, ini
panggilan akrabnya penyair dan kiai mbeling Emha Ainun Nadjib. Kita
bikin forum melingkar di situ. Biasanya kita bicara soal kesenian atau
kebudayaan, tapi juga ngobrolin soal keagamaan.
Forum itu diprakarsai oleh
Sanggar Shalahuddin. Komandannya anak Solo, Nasution Wahyudi. Ini nama
asli Jawa, nggak ada hubungannya dengan Nasution yang dari Medan .
Pesertanya juga tidak cuma mahasiswa atau pemuda yang beragama Islam.
Pendek kata, pemeluk berbagai agama berkumpul melingkar disitu.
Suatu malam, Cak Nun tanya pada kami di forum itu.
“Apakah anda semua punya tetangga?”
Wah, saya sebenarnya belum
punya. Tetapi saya anak kost, tentu saja kamar sebelah saya bisa
disamakan dengan tetangga. Tetangga kost. Jadi saya ikut-ikutan saja
menjawab : “Tentu saja punya”.
Cak Nun melanjutkan bertanya : “Punya istri enggak tetangga Anda?”
Sebagian hadirin menjawab : “Ya,
punya dong”. Saya diam saja. Rasanya tetangga kost saya bujangan semua.
Kebanyakan jomblo. Maklum anak desa. Nggak pede ngajak pacaran teman
kampusnya.
Yang menarik adalah pertanyaan
berikutnya : “Apakah anda pernah lihat kaki istri tetangga Anda itu?
Jari-jari kakinya lima atau tujuh? Mulus atau ada bekas korengnya ?”
Saya mulai kebingungan. Nggak ngeh sama arah pembicaraan Cak Nun.
Kebanyakan menjawab : “Tidak pernah memperhatikan Cak. Ono opo Cak?”
Cak Nun ndak peduli. Dia tanya lagi : “Body-nya sexy enggak?”
Kami tak lagi bisa menahan tertawa. Geli deh. Apalagi saya yang benar-benar tidak faham arah pembicaraan sang Kiai mbeling itu.
Cuma Cak Nun yang tersenyum
tipis. Jawabannya bagus banget. Dan ini senantiasa saya ingat sampai
hari ini. Sebuah prinsip pergaulan untuk sebuah negeri yang memilih
Pancasila : “Jadi ya begitu. Jari kakinya lima
atau
tujuh. Bodynya sexy atau tidak bukan urusan kita,kan? Tidak usah kita
perhatikan, tak usah kita amati, tak usah kita dialogkan, diskusikan
atau perdebatkan. Biarin saja”.
“Kenapa cak?” salah satu teman bertanya, penasaran.
“Ya apa urusan kita ? Nah,
keyakinan keagamaan orang lain itu ya ibarat istri orang lain. Ndak usah
diomong-omongkan, ndak usah dipersoalkan benar salahnya, mana yang
lebih unggul atau apapun. Tentu,
masing-masing
suami punya penilaian bahwa istrinya begini begitu dibanding istri
tetangganya, tapi cukuplah disimpan didalam hati saja”.
Saya pun menangkap apa yang dia maksudkan. Saya setuju dengan pandangan Cak Nun.
Dia melanjutkan serius : “Bagi
orang non-Islam, agama Islam itu salah. Dan itulah sebabnya ia menjadi
orang non-Islam. Kalau dia beranggapan atau meyakini bahwa Islam itu
benar ngapain dia jadi non-Islam? Demikian juga, bagi orang Islam, agama
lain itu salah, justru berdasar itulah maka ia menjadi orang Islam.
Tapi, sebagaimana istri tetangga, itu disimpan saja didalam hati, jangan
diungkapkan, diperbandingkan, atau dijadikan bahan seminar atau
pertengkaran.
Biarlah setiap orang memilih istri sendiri-sendiri, dan jagalah kemerdekaan masing-masing orang untuk menghormati dan mencintai istrinya masing-masing, tak usah rewel bahwa istri kita lebih mancung hidungnya karena Bapaknya dulu sunatnya pakai calak dan tidak pakai dokter, umpamanya. Dengan kata yang lebih jelas, teologi agama-agama tak usah dipertengkarkan, biarkan masing-masing pada keyakinannya. ”
Mengasyikkan. Saya kagum dibuatnya.
Cak Nun terus berkata : “Itu
prinsip kita dalam memandang berbagai agama. Sementara itu orang muslim
yang mau melahirkan padahal motornya gembos, silakan pinjam motor
tetangganya yang beragama Katolik untuk mengantar istrinya ke rumah
sakit. Atau, Pak Pastor yang sebelah sana karena baju misanya kehujanan,
padahal waktunya mendesak, dia boleh pinjam baju koko tetangganya yang
NU maupun yang Muhamadiyah. Atau ada orang Hindu kerjasama bikin warung
soto dengan tetangga Budha, kemudian bareng-bareng bawa colt bak ke
pasar dengan tetangga Protestan untuk kulakan bahan-bahan
jualannya.Begitu. ”
Kami semua terus menyimak paparannya.
“Jadi ndak usah meributkan
teologi agama orang lain. Itu sama aja anda ngajak gelut tetangga anda.
Mana ada orang yang mau isterinya dibahas dan diomongin tanpa ujung
pangkal. Tetangga-tetangga berbagai pemeluk agama, warga berbagai
parpol, golongan, aliran, kelompok, atau apapun, silakan bekerja sama di
bidang usaha perekonomian, sosial, kebudayaan, sambil saling melindungi
koridor teologi masing-masing. ”
“Kerjasama itu dilakukan bisa
dengan memperbaiki pagar bersama-sama, bisa gugur gunung membersihkan
kampung, bisa pergi mancing bareng bisa main gaple dan remi bersama.
Tidak ada masalah lurahnya Muslim, cariknya Katolik, kamituwonya Hindu,
kebayannya Gatholoco, atau apapun. Itulah lingkaran tulus hati dangan
hati. Itulah maiyah,” ujarnya.
Ketika mengatakan itu nada Cak
Nun datar, nyaris tanpa emosi. Tapi serius dan dalam. Saya menyimaknya
sungguh-sungguh. Dan saya catat baik-baik dalam hati saya. Sayangnya
dunia memang tidak ideal. Di Ambon dan Palu, misalnya saya lihat terlalu
banyak orang usil mengurusi isteri tetangganya. Begitu juga di berbagai
tempat di dunia. Di Bosnia. Atau yang paling baru di Irak dan
Afghanistan . Akibatnya ya perang dan hancur-hancuran. Menyedihkan.
Sangat menyedihkan.”
Semoga postingan ini dapat membuka mata kita untuk tidak membeda-bedakan.. okay?
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar
Terima Kasih Sudah Berkunjung ,, Jangan Lupa Berikan Komentarnya Untuk Artikel Ini