SEJAK SEMULA, tulis Romo Magnis, kekuasaan
selalu berwajah dua: sekaligus mempesona dan menakutkan. Dan bisa jadi,
kalau ini kata saya, ia berwajah sepuluh—layaknya dasamuka dalam
Ramayana.
Saya kemudian teringat—tak kebetulan begitu
saja, karena memang media sedang rame membahasnya lagi, seiring
peluncuran buku tentangnya—Soeharto. Pada senyumnya dan lambain
tangannya yang khas ketika tampil di TV hitam putih milik tetangga.
Sosoknya bisa dipastikan muncul tiap hari, paling tidak di Dunia Dalam
Berita. Saya takjub dengan wibawanya waktu itu. Dulu, dibenak saya—dan
bisa jadi di benak ratusan juga anak Indonesia, walau saya yakin ada
kekecualian terhadap anak-anak yang pernah menjadi korban
kekuasaannya—Pak Harto adalah orang paling baik sedunia. Pahlawan. Dan
memang begitulah imej yang dibangun melalui film-film propaganda: dari
“Janur Kuning” sampai “Pengkhianatan G30S/PKI”. Apalagi di dunia nyata,
ketika saya melihat ia menjawab masalah-masalah rakyat dalam acara
“Kelompencapir”—kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa—di TVRI selalu
saja ia jawab semua dengan baik-baik. Dengan senyum-senyum. Tuntas. Dan
saya berpikir, selesai dari acara itu petani itu sejahteralah sudah
hidupnya.
“Pak Harto, hebat!”
Tapi memang kekuasaan, seperti kata Romo Magnis,
berwajah dua. Ada yang lain di balik senyum dan lambaian tangan
bersahabat seorang Soeharto—dan anak usia di bawah 10-an seperti saya
dulu, mestilah belum tahu itu. Tahun 80-an. Tiba-tiba saja di kampung
kami para orang-orang jahat bertobat. Mereka rajin pergi bersembahyang,
bahkan rela tidur di mesjid. Ujug-ujug. Bahkan sebagian dari
mereka tidak bertato lagi, mereka hapus, dan berganti dengan kudis
(mungkin dihilangkan dengan besi panas atau obat kimia apa).
Sas-sus atawa desas-desus yang saya dengar
kemudian, dari nguping pembicaraan orang tua di kampung, banyak
penjahat, bandit-bandit, bromocorah, gali, ditembak mati. Tak tahu siapa
yang melakukan. Istilah penembakan misterius atawa penembak misterius
atawa apa yang disingkat petrus menjadi populer dimana-mana. Petrus
konon mengincar orang-orang bertato, dan wajar kemudian kenapa
orang-orang bertato di kampung kami gentar, dan tanpa banyak cing-cong bertobat—menghilangkan tato—dan betah berlama-lama tinggal di mesjid.
Soal petrus pun, di kampung kami, orang tua pada
senang semua. Di warung—sumber informasi utama saya waktu
itu—orang-orang bersyukur, “dengan ada petrus kampung kita lebih aman,
tak ada lagi maling ayam.” Akh, di jaman itu pula, siapa yang berani
bersuara lain?
Pak Harto sendiri, dalam autobiographinya:
Soeharto; Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, menuturkan: Kejadian itu,
misterius juga tidak. Masalah sebenarnya adalah bahwa kejadian itu
didahului oleh ketakutan yang dirasakan oleh rakyat. Ancaman yang datang
dari orang-orang jahat, perampok, pembunuh, dan sebagainya terjadi.
Ketentraman terganggu. Seolah-olah ketentraman di negeri ini sudah tidak
ada. Yang ada seolah-olah rasa takut saja. Orang jahat itu telah
bertindak melebihi perikemanusiaan. Mereka tidak hanya melanggar hukum,
tetapi sudah bertindak melebihi batas perikemanusiaan. Umpamanya saja,
orang tua sudah dirampas pelbagai miliknya, kemudian dibunuh. Itu ‘kan
sudah di luar kemanusiaan. Kalau mengambil, ya mengambillah, tetapi
jangan lantas membunuh. Kemudian ada perempuan yang diambil kekayaannya
dan si isteri orang lain itu masih juga diperkosa oleh orang jahat itu,
di depan suaminya lagi. Itu sudah keterlaluan! Apa hal itu mau didiamkan
saja? Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment, tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor! dor! begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak. Karena melawan, maka mereka ditembak.
Lanjutnya lagi: Lalu ada mayat yang ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock theraphy,
terapi goncangan. Supaya, orang banyak mengerti bahwa terhadap
perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan
itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampui
batas perikemanusiaan itu.
Ya, jelas peristiwa petrus atas restu Pak Harto.
Terang ia bilang itu tidaklah misterius: memang ada skenario menembak
mati para gali, bandit, bromocorah, dan begundal apalah namanya. Padahal
sejatinya, tak ada satu alasan apa pun, tak ada satu kekuasaan apa pun,
yang bisa mencabut nyawa seseorang yang dianggap bersalah tanpa proses
peradilan (bahkan dengan proses peradilan pun masih lagi terjadi debat
pendapat).
Dan di lapangan, kesaksian orang-orang, para
bromocorah itu tidaklah ditembak karena melawan, tapi diculik oleh
orang-orang yang biasanya mengendarai mobil sejenis jeep atau taft,
ditangkap hidup-hidup, dibawa ke suatu tempat, dan pagi-pagi mayatnya
(dengan tangan terikat) sudah tergeletak di wilayah publik: pasar,
jalan, lapangan, dlsb. Entah Soeharto yang berbohong, atau pelaksanaan
di lapangan yang salah. Tapi saya lebih cenderung yang pertama: siapa
yang berani salah menjalankan perintah Sang Jenderal waktu itu?
Iwan Fals, penyanyi legendaris itu, yang vokal
waktu itu, mengabadikan kesaksiannya atas peristiwa petrus dalam lagu
Sugali. Salah satu liriknya menggambarkan bagaimana Sugali (seorang
Bromocorah), yang kerap keluar-masuk bui ditembak: Oh bisik jangkrik di tengah malam, tenggelam dalam suara letusan, kata berita di mana mana, tentang Sugali tak tenang lagi dan lari sembunyi.
***
Ya, Romo Magnis benar. Kekuasaan berwajah dua.
Dan inilah—salah satu dari sekian ratus bahkan ribu—daftar wajah buruk
kekuasaan Soeharto waktu itu.
Sekarang mungkin ini menjadi catatan sejarah.
Kita yang hidup sekarang, pasca-Soeharto, bisalah mendapat pelajaran
darinya. Tidak boleh dilupakan begitu saja. Ia, Soeharto sendiri, kerap
mengatakan—salah satu—falsafah hidupnya: mikul dhuwur, mendhem jero.
Kalau mengangkat setinggi-tingginya, kalau memendam sedalam-dalamnya.
Seseorang mestilah menjunjung tinggi pemimpinnya, dan memendam segala
kesalahannya. Sejalan dengan itu, belajar dari kesalahan Soeharto, bukan
berarti kita menjunjung kesalahan-kesalahannya, tapi bagaimana agar
kita itu tak terulang lagi di masa sekarang.
Dan kalau benar-benar dipendam, mestilah kita tak belajar apa-apa darinya!
sumber
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar
Terima Kasih Sudah Berkunjung ,, Jangan Lupa Berikan Komentarnya Untuk Artikel Ini