Hari Gini Masih Nonton Film Indo?

Diposting oleh Unknown on Kamis, 21 Juni 2012





“PLAYING NOW: Pocong Mandi Goyang Pinggul, Kuntilanak Kesurupan, 13 Cara Memanggil Setan, (?) Tanda Tanya. COMING SOON: Akibat Pergaulan Bebas, Cowok Bikin Pusing. Swt kayaknya gw di rumah aja deh (-_____-”)”
-status Facebook seorang teman tertanggal 2 Mei 2011-
Masalah perpajakan film impor memaksa film-film box office Hollywood berhenti masuk ke Indonesia sampai waktu yang belum dapat dipastikan. Hal ini membuat masyarakat Indonesia tambah panas membicarakan satu lagi celah kebobrokan negara mereka. Menurut pendapat banyak orang, langkah yang ditempuh pemerintah hanya akan membawa angin segar bagi para pembajak film karena dagangannya kontan makin laris manis. Belum lagi kejadian itu bertepatan dengan tayangnya sejumlah film Indonesia yang bernuansa horror-porn, cap dari masyarakat akan buruknya perfilman di Indonesia pun makin menjadi-jadi, namun sayangnya: terlalu mengeneralisasi.
Seperti istilah “Don’t judge a book by its cover!” rasanya tidak bijak juga menilai sebuah film semata-mata dari judul atau posternya saja. Untuk orang-orang yang cukup sering mengamati film Indonesia, terlebih yang sudah menonton film “?” (Tanda Tanya) besutan Hanung Bramantyo jelas akan berpendapat tidak sewajarnya film tersebut disejajarkan dengan judul-judul film lain di kategori “PLAYING NOW” di atas. Hal seperti ini rasanya patut dijadikan pelajaran bahwa suatu pendapat (terlebih yang dikemukakan ke publik) seharusnya sudah matang dan dilengkapi background check lebih dahulu dan bukan asal bicara. Lagipula, bukankah kemerdekaan berpendapat yang dijamin di Indonesia juga merupakan kemerdekaan yang bertanggung jawab?
Tidak hanya hal itu, bagi sebagian orang, menonton film muslim sepertinya juga menjadi hal yang tak wajar jika Anda bukan muslim. Barangkali Anda akan dicibir, “Ih, kok nonton film kayak gituan sih?” Pertanyaannya adalah apa yang salah dari sebuah film dengan pesan moral yang baik? Apakah penikmat film di Indonesia memang sudah tidak mampu menangkap pesan moral di balik tontonan mereka dan lebih memilih tontonan yang ringan-ringan saja? Mencoba mengambil pelajaran dari Film “?”: dengan masuk gereja, seorang penganut agama Islam tidak serta merta menjadi Kristiani. Nah, apalagi ini sekedar menonton film? What’s so wrong about watching “Ayat-Ayat Cinta”, “Perempuan Berkalung Sorban” or “Dalam Mihrab Cinta” if you are a non-muslim? Kalau sudah begitu, orang bisa jadi enggan menonton lagi karena terlalu peduli dengan pendapat orang lain. Istilahnya, “Kalo ga ikut trend, gue ga keren.” Jadi, apakah artinya semua orang di dunia harus kena demam “Harry Potter”?

Foto ilustrasi poster film-film Indonesia. (Sources: ceritawaktuluang, media.tumblr, rileks.com)
Pada kenyataannya, orang-orang yang sudah skeptis dengan film Indonesia belum tentu juga menonton film Indonesia berkualitas yang masuk nominasi atau bahkan menggondol penghargaan seperti misalnya “Hati Merdeka”, “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, dan “Batas”. Atau mungkin lebih parah lagi, ketika tidak paham dengan film menyentil penuh metafora seperti “Mereka Bilang, Saya Monyet!” atau “The Mirror Never Lies”, dengan gampangnya akan berkata, “Apaan sih maksudnya film ini? Koq ga jelas nyeritain apa.”
Harus diakui, efek-efek yang mampu disajikan oleh sineas Indonesia mungkin memang tidak semutakhir film-film barat. Namun tahukah Anda – terlebih yang suka mengkritik film Indonesia – bahwa sineas Indonesia banyak yang berusaha belajar demi memajukan kualitas film Indonesia. Sebut saja, trilogi “Merah Putih” (“Merah Putih”, “Darah Garuda”, dan “Hati Merdeka”) sebagai film perang Indonesia yang diakui Kompas sebagai “The perfect movie for independence day” yang menggunakan ahli terbaik bidang special effect dan teknis dari Hollywood sampai para ahli make-up and visual effects artists yang juga nominator Academy Award (Oscar), seperti Conor O’Sullivan*. Bahkan dua film pertama dari trilogi ini, “Merah Putih” dan “Darah Garuda”, tercatat telah diputar di berbagai festival film internasional seperti di Cannes, Berlin, Pusan, Dallas, Los Angeles, Amsterdam, Mumbai dan Bangkok serta meraih sukses besar memenangkan sejumlah penghargaan. Berapa banyak orang yang tahu akan hal ini? Berapa banyak orang yang lebih berkonsentrasi mengkritik kelemahan yang ada (tanpa menawarkan solusi)? Berapa banyak orang yang dengan mudahnya memberi cap jelek pada seluruh film Indonesia tanpa melihat adanya film-film berkualitas seperti ini?
Sudah waktunya kita melek akan keadaan tanah air kita yang dijajah produk asing, dijajah orang-orang yang tidak bisa menghargai karya anak bangsa sendiri…
Mungkin memang sudah saatnya kita melihat kemerdekaan tidak semata-mata sebagai keadaan bebas dari penjajah yang digambarkan seperti pada zaman orang-orang angkat senjata dan berperang sampai mati. Sudah waktunya kita melek akan keadaan tanah air kita yang dijajah produk asing, dijajah orang-orang yang tidak bisa menghargai karya anak bangsa sendiri, dijajah ikatan-ikatan kasat mata yang membelenggu kemerdekaan untuk memilih. Kalau memang yang bagus cuma sedikit, kenapa tidak kita pertahankan? Buat apa terus cerca yang buruk kalau hanya membuyarkan perhatian pada yang semestinya?
*Dapat dilihat selengkapnya di
sumber

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar

Terima Kasih Sudah Berkunjung ,, Jangan Lupa Berikan Komentarnya Untuk Artikel Ini