“PLAYING NOW: Pocong Mandi Goyang Pinggul, Kuntilanak Kesurupan,
13 Cara Memanggil Setan, (?) Tanda Tanya. COMING SOON: Akibat Pergaulan
Bebas, Cowok Bikin Pusing. Swt kayaknya gw di rumah aja deh (-_____-”)”
-status Facebook seorang teman tertanggal 2 Mei 2011-
Masalah perpajakan film impor memaksa film-film box office Hollywood
berhenti masuk ke Indonesia sampai waktu yang belum dapat dipastikan.
Hal ini membuat masyarakat Indonesia tambah panas membicarakan satu lagi
celah kebobrokan negara mereka. Menurut pendapat banyak orang, langkah
yang ditempuh pemerintah hanya akan membawa angin segar bagi para
pembajak film karena dagangannya kontan makin laris manis. Belum lagi
kejadian itu bertepatan dengan tayangnya sejumlah film Indonesia yang
bernuansa horror-porn, cap dari masyarakat akan buruknya perfilman di Indonesia pun makin menjadi-jadi, namun sayangnya: terlalu mengeneralisasi.
Seperti istilah “Don’t judge a book by its cover!” rasanya
tidak bijak juga menilai sebuah film semata-mata dari judul atau
posternya saja. Untuk orang-orang yang cukup sering mengamati film
Indonesia, terlebih yang sudah menonton film “?” (Tanda Tanya) besutan
Hanung Bramantyo jelas akan berpendapat tidak sewajarnya film tersebut
disejajarkan dengan judul-judul film lain di kategori “PLAYING NOW” di
atas. Hal seperti ini rasanya patut dijadikan pelajaran bahwa suatu
pendapat (terlebih yang dikemukakan ke publik) seharusnya sudah matang
dan dilengkapi background check lebih dahulu dan bukan asal
bicara. Lagipula, bukankah kemerdekaan berpendapat yang dijamin di
Indonesia juga merupakan kemerdekaan yang bertanggung jawab?
Tidak hanya hal itu, bagi sebagian orang, menonton film muslim
sepertinya juga menjadi hal yang tak wajar jika Anda bukan muslim.
Barangkali Anda akan dicibir, “Ih, kok nonton film kayak gituan sih?”
Pertanyaannya adalah apa yang salah dari sebuah film dengan pesan moral
yang baik? Apakah penikmat film di Indonesia memang sudah tidak mampu
menangkap pesan moral di balik tontonan mereka dan lebih memilih
tontonan yang ringan-ringan saja? Mencoba mengambil pelajaran dari Film
“?”: dengan masuk gereja, seorang penganut agama Islam tidak serta merta
menjadi Kristiani. Nah, apalagi ini sekedar menonton film? What’s so wrong about watching “Ayat-Ayat Cinta”, “Perempuan Berkalung Sorban” or “Dalam Mihrab Cinta” if you are a non-muslim?
Kalau sudah begitu, orang bisa jadi enggan menonton lagi karena terlalu
peduli dengan pendapat orang lain. Istilahnya, “Kalo ga ikut trend, gue
ga keren.” Jadi, apakah artinya semua orang di dunia harus kena demam
“Harry Potter”?
Pada kenyataannya, orang-orang yang sudah skeptis dengan film
Indonesia belum tentu juga menonton film Indonesia berkualitas yang
masuk nominasi atau bahkan menggondol penghargaan seperti misalnya “Hati
Merdeka”, “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, dan “Batas”. Atau mungkin lebih
parah lagi, ketika tidak paham dengan film menyentil penuh metafora
seperti “Mereka Bilang, Saya Monyet!” atau “The Mirror Never Lies”,
dengan gampangnya akan berkata, “Apaan sih maksudnya film ini? Koq ga
jelas nyeritain apa.”
Harus diakui, efek-efek yang mampu disajikan oleh sineas Indonesia
mungkin memang tidak semutakhir film-film barat. Namun tahukah Anda –
terlebih yang suka mengkritik film Indonesia – bahwa sineas Indonesia
banyak yang berusaha belajar demi memajukan kualitas film Indonesia.
Sebut saja, trilogi “Merah Putih” (“Merah Putih”, “Darah Garuda”, dan
“Hati Merdeka”) sebagai film perang Indonesia yang diakui Kompas sebagai
“The perfect movie for independence day” yang menggunakan ahli terbaik
bidang special effect dan teknis dari Hollywood sampai para ahli make-up and visual effects artists yang
juga nominator Academy Award (Oscar), seperti Conor O’Sullivan*. Bahkan
dua film pertama dari trilogi ini, “Merah Putih” dan “Darah Garuda”,
tercatat telah diputar di berbagai festival film internasional seperti
di Cannes, Berlin, Pusan, Dallas, Los Angeles, Amsterdam, Mumbai dan
Bangkok serta meraih sukses besar memenangkan sejumlah penghargaan.
Berapa banyak orang yang tahu akan hal ini? Berapa banyak orang yang
lebih berkonsentrasi mengkritik kelemahan yang ada (tanpa menawarkan
solusi)? Berapa banyak orang yang dengan mudahnya memberi cap jelek pada
seluruh film Indonesia tanpa melihat adanya film-film berkualitas
seperti ini?
Sudah waktunya kita melek akan keadaan tanah air kita yang dijajah produk asing, dijajah orang-orang yang tidak bisa menghargai karya anak bangsa sendiri…
Mungkin memang sudah saatnya kita melihat kemerdekaan tidak
semata-mata sebagai keadaan bebas dari penjajah yang digambarkan seperti
pada zaman orang-orang angkat senjata dan berperang sampai mati. Sudah
waktunya kita melek akan keadaan tanah air kita yang dijajah
produk asing, dijajah orang-orang yang tidak bisa menghargai karya anak
bangsa sendiri, dijajah ikatan-ikatan kasat mata yang membelenggu
kemerdekaan untuk memilih. Kalau memang yang bagus cuma sedikit, kenapa
tidak kita pertahankan? Buat apa terus cerca yang buruk kalau hanya
membuyarkan perhatian pada yang semestinya?
*Dapat dilihat selengkapnya di
sumber
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar
Terima Kasih Sudah Berkunjung ,, Jangan Lupa Berikan Komentarnya Untuk Artikel Ini