Inilah Keistimewaan Para Shahabat Nabi di Sisi Allah

Diposting oleh Unknown on Jumat, 29 Juni 2012



Sesungguhnya para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya serta di sisi kaum mukminin. Allah subhanahu wa ta’ala telah memuji mereka di dalam Al Qur`anul Karim, mengkhabarkan keridhaan-Nya kepada mereka dan keridhaan mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Di antaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Ali Imran: 110)

“Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha pada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.”(At-Taubah: 100)

“Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk al-jannah). Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada dalam al-jannah yang penuh dengan kenikmatan.” (Al-Waqi’ah: 10-12)

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), sebagai umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan) kamu.”(Al-Baqarah: 143).   Al-Khathib Al-Baghdadi t berkata: “Lafadz ini (di atas) walaupun sifatnya umum, namun yang dimaksud adalah orang-orang tertentu (yaitu para shahabat). Ada yang berpendapat pula bahwa ini hanya berkaitan dengan para shahabat semata.”

“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka, lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat waktunya.” (Al-Fath: 18)

“Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu.”(Al-Anfal: 64)

“(Juga) bagi para orang-orang faqir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 8-9)

Dan ayat-ayat lainnya yang cukup banyak tentang keutamaan dan kedudukan mereka.

Adapun Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, beliau telah memuji para shahabat dan menjelaskan keutamaan mereka dalam sekian banyak haditsnya. Di antaranya adalah sabda beliau shalallahu ‘alaihi wassalam:

“Sebaik-baik manusia (generasi) adalah  yang hidup di abadku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya. Setelah itu akan datang suatu kaum yang persaksiannya mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” (HR. Al-Bukhari no. 3650 dari shahabat ‘Imran bin Hushain z, dan Muslim no. 4533 dari hadits Ibnu Mas’ud, ‘Imran bin Hushain, dan Abu Hurairah g)

“Janganlah mencela para shahabatku, janganlah mencela para shahabatku! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya (Demi Allah), kalaulah salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar Gunung Uhud, niscaya tidak akan menyamai infaq salah seorang dari mereka (para shahabat) yang hanya sebesar cakupan tangan atau setengahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 3673 dan Muslim no. 2540, dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri z)                   

Shahabat Abdullah bin ‘Abbas c berkata: “Janganlah mencela para shahabat Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, sungguh keberadaan salah seorang dari mereka bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam walau sesaat, itu lebih baik daripada ibadah salah seorang dari kalian sepanjang hidupnya.” (Syarh Ath-Thahawiyyah hal. 532, Asy-Syaikh Al-Albani t berkata: “Shahih”)

Shahabat Abdullah bin Mas’ud z berkata: “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala melihat kepada hati segenap hamba-Nya, maka didapatilah hati Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam sebagai hati yang terbaik di antara hati para hamba, sehingga Allah subhanahu wa ta’ala memilihnya dan mengutusnya untuk mengemban risalah-Nya. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala melihat kepada hati para hamba maka didapatilah hati para shahabat Nabi sebagai hati-hati terbaik (setelah hati Nabi Muhammad n), sehingga Allah subhanahu wa ta’ala jadikan mereka sebagai para pembela Nabi-Nya, siap bertempur di atas agamanya. Segala apa yang dipandang baik oleh para shahabat maka di sisi Allah adalah baik, dan segala apa yang dipandang buruk oleh mereka maka buruk pula di sisi Allah.” (Syarh Ath-Thahawiyyah, hal. 532, Asy-Syaikh Al-Albani t berkata: hasan mauquf, diriwayatkan oleh Ath-Thayalisi, Ahmad dan yang lainnya dengan sanad yang hasan, dishahihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)

Al-Imam Ath-Thahawi t (ketika menjelaskan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah) berkata: “Kami mencintai para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, tidak berlebihan di dalam mencintai salah seorang dari mereka dan tidak pula berlepas diri (bara`) terhadap siapa pun dari mereka. Kami membenci siapa saja yang membenci para shahabat dan yang menjelek-jelekkan mereka, dan tidaklah kami menyebut mereka kecuali dengan kebaikan. Kecintaan kepada mereka merupakan bagian dari agama, iman dan ihsan. Sedangkan kebencian terhadap mereka merupakan suatu kekufuran, kemunafikan dan perbuatan yang melampaui batas.” (Syarh Ath-Thahawiyyah, hal. 528)

Al-Khathib Al-Baghdadi t setelah menyebutkan ayat-ayat dan hadits-hadits seputar kedudukan dan keutamaan para shahabat, berkata: “Hadits-hadits yang semakna dengan ini cukup luas, semuanya sesuai dengan apa yang terdapat di dalam Al Qur`an; yang kesemuanya itu membuktikan tentang kesucian para shahabat, kepastian keadilan, serta kebersihan mereka. Dengan adanya rekomendasi untuk mereka dari Allah subhanahu wata’ala, Dzat Yang Maha Mengetahui segala yang tersembunyi, maka sungguh tidak seorang pun dari mereka yang butuh akan rekomendasi siapa pun dari makhluk di muka bumi ini.

Para shahabat akan senantiasa berada dalam posisi yang mulia ini, kecuali bila salah seorang dari mereka benar-benar terbukti melakukan kemaksiatan dengan sengaja, maka gugurlah keadilan (rekomendasi) tersebut. Namun Allah telah membersihkan diri mereka dari perbuatan tersebut, bahkan Allah mengangkat derajat mereka di sisi-Nya. Dan kalaulah nash-nash pujian dari Allah dan Rasul-Nya untuk mereka ini tidak ada, maka amalan-amalan mereka, seperti hijrah, jihad, membela agama Allah, mengorbankan nyawa dan harta, siap bertempur melawan orang tua dan anak mereka (karena agama), saling menasehati dalam urusan agama, serta kuatnya iman dan keyakinan mereka, sudah menunjukkan secara yakin tentang keadilan dan kesucian mereka serta sebagai bukti bahwa mereka lebih utama dari semua pemberi rekomendasi dari generasi yang datang setelah mereka selama-lamanya. Inilah pendapat keseluruhan ulama dan orang-orang diperhitungkan kata-katanya dari kalangan fuqaha.” (Al-Kifayah, hal. 96)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah bersihnya hati dan lisan mereka terhadap para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala sifati dalam firman-Nya:

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan sudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (Al-Hasyr: 10)

Juga menaati Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dalam sabdanya: “Janganlah mencela para shahabatku, janganlah mencela para shahabatku! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya (Allah), kalaulah salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar Gunung Uhud, niscaya tidak akan menyamai infaq salah seorang dari mereka (para shahabat) yang hanya sebesar cakupan dua telapak tangan atau setengahnya”, menerima segala apa terdapat dalam Al Qur`an, As Sunnah dan ijma’ tentang keutamaan dan martabat mereka, berlepas diri dari prinsip Syi’ah Rafidhah yang membenci dan mencela mereka, serta dari prinsip Nawashib yang menyakiti Ahlul Bait (keluarga Rasul) dengan perkataan dan perbuatannya. Ahlussunnah Wal Jamaah menahan diri dari apa yang terjadi di antara para shahabat (berupa fitnah), dengan mengatakan:

Sesungguhnya riwayat-riwayat tentang kejelekan mereka ada yang palsu, ada yang ditambah dan dikurangi serta diubah-ubah dari yang sebenarnya. Adapun yang terjadi dengan sebenarnya, maka mereka mendapatkan udzur dalam permasalahan tersebut, di antara mereka ada yang berijtihad dan benar ijtihadnya, di antara mereka ada pula yang berijtihad namun keliru ijtihadnya.

Barangsiapa memperhatikan perjalanan hidup mereka dan segala keutamaan yang Allah subhanahu wata’ala karuniakan kepada mereka dengan ilmu dan bashirah, pasti dia akan mengetahui dengan penuh keyakinan bahwa mereka adalah makhluk terbaik setelah para nabi. Tidak ada yang menyamai mereka, baik dahulu ataupun di masa yang akan datang. Dan mereka merupakan generasi pilihan umat ini, sebaik-baik umat dan yang paling mulia di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.” (Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah, hal. 142-151)

Sumber :  KEDUDUKAN PARA SHAHABAT di Sisi Allah dan Rasul-Nya serta Kaum Mukminin (ditulis oleh: Prof. Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali)
(Diterjemahkan dari kitab Mathaa’in Sayyid Quthb Fii Ash-habi Rasulillah n, Al-Fashluts Tsani: Makaanatu Ash-habirrasul n ‘Indallahi Warasulihi Wal Mu`minin, hal. 52-56, karya Prof. Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi)
 Majalah Asysyariah, edisi 17

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar

Terima Kasih Sudah Berkunjung ,, Jangan Lupa Berikan Komentarnya Untuk Artikel Ini