“JELASLAH bagi kita yang menyaksikan dengan mata kepala betapa kejamnya aniaya yang telah dilakukan oleh petualang-petualang biadab dari apa yang dinamakan Gerakan 30 September.” Pangkostrad Mayjen Soeharto, 4 Oktober 1965.
“Matanya dicungkil.” Angkatan Bersendjata, 6 Oktober 1965.
“Deru mesinnya yang seperti harimau haus darah.” Angkatan Bersendjata, 7 Oktober 1965.
“Ada yang dipotong tanda kelaminnya.” Berita Yudha, 10 Oktober 1965.
“Belakangan ini saya dapat bukti bahwa jenderal-jenderal yang
dimasukkan semua ke Lubang Buaya tidak ada satu orang pun yang
kemaluannya dipotong. Saya dapat buktinya darimana? Visum repertum
daripada team dokter-dokter yang menerima jenazah-jenazah daripada
jenderal-jenderal yang dimasukkan ke dalam sumur Lubang Buaya itu.” Presiden Ir. Sukarno, 13 Desember 1965
Tulisan berikut ini dimuat secara berseri di Jakartabeat.net [bag. 1 dan bag. 2], merupakan “penyempurnaan” dari tulisan-tulisan sebelumnya di blog ini, dilengkapi dengan beberapa kutipan dari mock proposal di kelas POLS 780, juga foto-foto dari Lubang Buaya, dan pemberitaan dari beberapa media massa di tahun 1965. Kalau Anda tak selesai membacanya, istirahat dulu, lalu kembali lagi. Selamat mambaca.
***
Di atas kursi roda, mengenakan kaos oblong putih dan sarung biru
bergaris-garis, Lim Joe Thay duduk terdiam. Bibirnya mengatup, sering
kedua telapak tangannya ditangkupkan di depan dada dan sekali-sekali
diletakkan di atas paha. Rambutnya telah memutih sempurna. Dia tak
banyak bicara. Kalau pun bersuara, kata-katanya terdengar sayup dan
samar.
Sekali
waktu laki-laki yang kini berusia 83 tahun itu bergumam. Mumbling. Saya
mencoba menangkap isi ceritanya. Tidak jelas. Terpotong-potong,
patah-patah. Kalau disambungkan seperti cerita tentang sepasukan tentara
yang bergerak di sebuah tempat, entah di mana. Tapi cerita itu tak
tuntas. Dia menutup sendiri ceritanya, mengalihkan pandangan mata ke
sembarang arah, sebelum kembali menenggelamkan diri dalam diam.
Di saat yang lain, dia kembali menanyakan nama saya. Dan kalau sudah
begini, saya memegang tangannya, menyebutkan nama saya sambil menatap
matanya. Setelah itu senyumnya sedikit mengembang.
Dikenal dengan nama dr. Arief Budianto, tak banyak yang menyadari Lim
Joey Thay adalah tokoh penting. Sangat penting, bahkan. Dia adalah satu
dari segelintir orang yang berada di titik paling menentukan dalam
sejarah negara ini setelah Proklamasi 1945.
Pagi hari 4 Oktober 1965 pasukan yang dipimpin Pangkostrad Mayjen
Soeharto menemukan tujuh mayat perwira Angkatan Darat yang diculik dan
dibunuh Gerakan 30 September dinihari 1 Oktober. Ketujuh perwira naas
itu adalah Menteri Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani, Deputi II
Menpangad Mayjen R. Soeprapto, Deputi III Menpangad Mayjen MT. Harjono,
Deputi IV Menpangad Brigjen DI. Panjaitan, Oditur Jenderal/Inspektur
Kehakiman AD Brigjen Soetojo Siswomihardjo, Asisten I Menpangad Mayjen
S. Parman, dan Lettu P. Tendean (Ajudan Menko Hankam/KASAB Jenderal AH
Nasution).
Mayat enam jenderal dan seorang perwira muda Angkatan Darat ini
ditemukan di dalam sebuah sumur tua sekitar 3,5 kilometer di luar
Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusumah
Lim Joey Thay yang ketika itu adalah lektor Ilmu Kedokteran Kehakiman
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI) merupakan satu dari
lima ahli forensik yangberdasarkan perintah Soeharto memeriksa kondisi
ketujuh mayat tersebut sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, siang hari 5 Oktober.
Empat dokter lain di dalam tim ini adalah dr. Brigjen Roebiono
Kertopati, perwira tinggi yang diperbantukan di RSP Angkatan Darat; dr.
Kolonel Frans Pattiasina, perwira kesehatan RSP Angkatan Darat; dr.
Sutomo Tjokronegoro, ahli Ilmu Urai Sakit Dalam dan ahli Kedokteran
Kehakiman, juga profesor di FK-UI; serta dr. Liau Yan Siang, rekan Lim
Joey Thay di Ilmu Kedokteran Kehakiman FK-UI.
Kini dari lima anggota tim otopsi itu, tinggal Lim Joey Thay dan Liu
Yang Siang yang masih hidup. Lim Joey Thay kini sakit-sakitan, sementara
sejak beberapa tahun lalu, Liu Yan Siang menetap di Amerika Serikat dan
tidak diketahu pasti kabar beritanya.
Berpacu dengan waktu dan proses pembusukan, mereka berlima bekerja
keras selama delapan jam, dari pukul 4.30 sore tanggal 4 Oktober, hingga
pukul 12.30 tengah malam 5 Oktober, di kamar mayat RSP Angkatan Darat.
***
Pagi di bulan Juni tahun lalu saya dihubungi Dandhy Dwi Laksono,
kawan jurnalis yang ketika itu masih bekerja sebagai kordinator liputan
sebuah stasiun televisi.
“Dr. Arif jatuh. Sekarang dirawat di St. Carolus. Gua mau ke sana. Lu nyusul ya,” begitu pesan pendeknya.
Satu jam kemudian kami bertemu di kantin RS St. Carolus, Salemba,
Jakarta Pusat. Setelah sarapan dan membeli buah-buahan di kantin untuk
dr. Lim Joey Thay, kami berjalan menuju kompleks rawat inap Ignatius-II
tempat ia dirawat.
Di teras Ignatius-II, Lim Joey Thay duduk sendirian menghadap taman
kecil di depannya. Istri dan beberapa kerabatnya yang berada di bagian
dalam paviliun itu menyambut kami.
Informasi yang kami terima menyebutkan bahwa dr. Lim Joey Thay
terjatuh karena serangan struk. Namun Ny. Arif menjelaskan bahwa dr. Lim
Joey Thay terjatuh saat hendak naik ke kursi roda di rumahnya. Mungkin
karena terlalu lelah. Keadaannya tidak mengkhawatirkan, kata Ny. Arif.
Dibandingkan tahun sebelumnya, kondisi dr. Lim Joey Thay lebih baik,
sambungnya.
Dandhy menemukan kembali visum et repertum ketujuh Pahlawan Revolusi
dan kisah tentang dr. Lim Joey Thay saat menyiapkan sebuah program
liputan khusus untuk menyambut peringatan peristiwa Gerakan 30 September
yang oleh Bung Karno dianggap sebagai resultan dari konflik internal
Angkatan Darat, petualangan pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) dan
operasi kaum nekolim di tanah air. Tim liputan yang dipimpin Dandhy
melakukan riset ekstensif mengenai penyiksaan yang dialami ketujuh
Pahlawan Revolusi itu. Dalam liputan khusus itu, wawancara Dandhy dengan
dr. Lim Joey Thay juga disertakan.
Saya tak menyaksikan liputan khusus yang diputar Oktober 2007 itu.
Tetapi dari e-mail yang disampaikan Dandhy pada sebuah milis ketika dia
mengumumkan penayangan program tersebut saya menangkap penegasan sekali
lagi dr. Lim Joey Thay bahwa cerita tentang alat kelamin Pahlawan
Revolusi yang disilet —apalagi dipotong dan ditelan—juga cerita tentang
mata mereka yang dicungkil adalah bohong belaka. Sayangnya, kebohongan
ini sudah kadung dianggap sebagai fakta sejarah dan diajarkan di
sekolah-sekolah.
Tulis Dandhy dalam e-mailnya, “Hasil wawancara sebenarnya hanya
mengonfirmasi apa yang tertera dalam dokumen visum et repertum, bahwa
enam Pahlawan Revolusi tewas akibat luka tembak, dan satu orang (Mayjen
M.T. Haryono) akibat luka tusuk. Ada sejumlah luka lebam yang diragukan
apakah akibat pemukulan atau akibat jenazah dijatuhkan ke dalam sumur
sedalam 12 meter.”
“Karena masalah komunikasi, dalam wawancara, Prof Arief [Lim Joey
Thay] didampingi dr. Djaja Admadja, bekas muridnya yang kini adalah
dokter forensik di RSCM (ahli DNA). dr. Djaja yang lebih banyak mengurai
detil, sementara Prof Arief sesekali menimpali,” demikian tulis Dandhy.
***
Visum et repertum jenazah Pahlawan Revolusi ini jelas bukan barang
baru. Benedict Anderson dari Cornell University telah menyalin ulang
visum et repertum itu dalam artikelnya, How Did the Generals Die? di jurnal Indonesia
edisi April 1987. Artikel Ben Anderson ini membuat pemerintahan
Soeharto marah besar, dan sejak itu Ben Anderson diharamkan menginjakkan
kaki di Indonesia.
Ketujuh pahlawan revolusi itu jelas mati dibunuh. Dan pembunuhan
dengan cara apapun jelas di luar nilai-nilai kemanusiaan. Namun dari
hasil otopsi yang dilakukan dr. Lim Joey Thay dan teman-temannya sama
sekali tidak menemukan tanda-tanda pencungkilan bola mata, atau apalagi,
pemotongan alat kelamin seperti yang dilaporkan media massa yang
dikuasai Angkatan Darat, Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha,
dan beberapa media cetak lain yang diperbolehkan beredar selagi
mengikuti aturan main dan kemauan pihak militer. Sumber berita lain di
masa itu adalah RRI, TVRI dan Kantor Berita Antara yang seperti dua koran sebelumnya juga dikontrol militer.
Dalam
artikelnya ini, sebelum menyalin ulang visum et repertum ketujuh mayat
Pahlawan Revolusi untuk komunitas akademik, Ben Anderson lebih dulu
mengutip beberapa pemberitaan media massa mengenai detil pembunuhan para
perwira.
Bila dibandingkan dengan semua laporan-laporan yang dipublikasikan
media-media massa yang dikontrol tentara itu, kata Ben Anderson, hasil
visum et repertum itu memberikan deskripsi yang paling pas dan objektif
mengenai nasib mereka setelah diculik oleh kelompok Letkol Untung,
Komandan Batalion I Resimen Kawal Presiden Cakrabiwara.
Mata Jenderal Ahmad Yani dicungkil, tulis Angkatan Bersendjata
edisi 6 Oktober. Berita Yudha menegaskan sekali lagi soal pencungkilan
mata ini dua hari kemudian sambil menambahkan bahwa saat ditemukan mayat
para perwira Angkatan Darat terbungkus kain hitam.
Sehari kemudian, 7 Oktober, Angkatan Bersendjata
mempublikasikan cerita tentang detail pembunuhan Brigjen Panjaitan di
depan rumahnya. Setelah dihujani tembakan, mayat Brigjen Panjaitan
dilemparkan ke dalam truk yang kemudian membawanya ke Lubang Buaya.
Sebegitu mengerikannya kekuatan pasukan penculik Panjaitan ini,
sampai-sampai deru mesin kendaraan yang mereka pakai saja seperti “suara
harimau yang haus darah.”
Sementara, walaupun wajah Suprapto dan tengkoraknya dihantam oleh
“penteror2 biadab” namun dia masih dapat dikenali, begitu tulis Berita Yudha
edisi 9 Oktober. Sehari kemudian koran yang sama menurunkan berita yang
disebut bersumber dari saksi mata yang berada di lokasi pembantaian.
Menurut pengakuan saksi ini, biji mata beberapa korban dicungkil keluar,
sementara kemaluan beberapa lainnya dipotong.
Edisi 11 Oktober Angkatan Bersendjata menuliskan laporan
yang lebih detil tentang pembunuhan Lettu Tendean. Ajudan Jenderal
Nasution ini disebutkan menjadi sasaran latihan tembak anggota Gerwani.
Cerita-cerita mengenai alat kelamin yang disayat, dipotong dan
dimakan telah membangkitkan amarah di akar rumput. Cerita-cerita
imajinatif ini, menurut Ben Anderson dalam artikelnya yang lain, Indonesian Nationalism Today and in the Future (1999), sengaja disebarkan oleh pihak militer.
Ia bagian dari dalih untuk melakukan pembantaian massal, tulis John
Roosa (2006). Dan ia bagai minyak tanah yang disiramkan ke api.
Menyambar-nyambar. Selanjutnya, yang terjadi adalah pembantaian
besar-besaran di mana-mana terhadap anggota PKI dan/atau siapa saja yang
dituduh menjadi anggota PKI dan/atau memiliki relasi dengan PKI.
Benedict Anderson, menggarisbawahi bagaimana dan dengan maksud apa berita pemotongan alat kelamin itu disebarkan.
“Soeharto dan kelompoknya telah menerima hasil otopsi detil yang
dilakukan ahli forensik sipil dan militer terhadap tubuh korban, para
jenderal yang dibunuh 1 Oktober. Laporan itu memperjelas bahwa para
jenderal ditembak mati dan mayat mereka dibuang ke sebuah sumur dalam di
Lubang Buaya. Tetapi tanggal 6 Oktober, media massa yang dikontrol
Soeharto melancarkan sebuah kampanye yang menyebutkan bahwa mata para
jenderal dicongkel dan alat kelamin mereka dipotong,” tulis Ben
Anderson.
Propaganda pihak militer ini, yakin Ben Anderson, dilakukan untuk
menciptakan atmosfer histeria di seluruh Indonesia yang telah mendorong
pembantaian lebih dari setengah juta orang dengan cara paling
mengerikan, tanpa melalui proses pengadilan.
Tidak keliru bila ada yang menyebut bahwa pemerintahan Orde Baru
didirikan di atas tumpukan tengkorak dan tulang belulang, demikian Ben
Anderson.
Tidak ada catatan yang meyakinkan tentang berapa jumlah rakyat yang
tewas dalam pembantaian massal itu. Jumlah yang sejauh ini dianggap
sebagai kebenaran berkisar antara 500 ribu hingga 1,5 juta. Dalam
artikelnya tahun lalu, Exit Soeharto: Obituary for a Mediocre Tyrant
yang ditulis khusus untuk mengenang Soeharto yang meninggal tiga bulan
sebelumnya, Ben Anderson mengutip pengakuan Jenderal Sarwo Edhie tentang
jumlah orang yang tewas dalam pembunuhan massal 1965-1966.
“On his deathbed, the by-then marginalized General Sarwo Edhie,
who led the Red Berets in 1965-66, even said he had been responsible for
the death of three million people.”
***
Begitulah. Sejarah, kata sementara orang, adalah catatan para
pemenang. Dus arti sebaliknya adalah: orang yang kalah tak punya hak
untuk ikut menuliskan sejarah. Di bawah rezim otoriter, pemerintah pusat
adalah satu-satunya pihak yang punya hak untuk menentukan mana yang
dapat disebut sebagai fakta sejarah dan mana yang tidak. Dengan
menggunakan stabilitas politik sebagai dalih pembangunan nasional,
pemerintahan Orde Baru mempabrikasi versi mereka tentang konstruksi
sejarah nasional, termasuk dalam hal ini, sejarah mengenai peristiwa
G30S yang menjadi pondasi rezim berusia tiga dasawarsa itu. Pokoknya,
sejarah versi penguasa adalah satu-satunya dogma yang harus diingat dan
dipercaya.
Bagi pemerintahan otoriter, cerita dan interpretasi yang berbeda dari
versi penguasa mengenai apa yang terjadi di masa lalu adalah upaya
untuk mensabotase kedaulatan negara dan proses pembangunan nasional.
Karena itu, cerita-cerita yang tak dikehendaki penguasa ini diharamkan,
dan pihak-pihak yang membawa dan menyebarkannya dinyatakan sebagai musuh
negara. Sensor pun adalah aksi yang biasa dilakukan pemerintahan Orde
Baru untuk mengontrol informasi publik dan dunia akademi yang berpotensi
menggugat kebenaran versi penguasa.
Tidak boleh ada fakta yang bertentangan dengan “fakta” yang
diproduksi penguasa mengenai peristiwa G30S dan tidak boleh ada
penjelasan lain yang berbeda dari penjelasan versi pemerintah yang boleh
hidup di ruang publik. Kalau pun ada, selama Soeharto berkuasa, ia
hanya hidup dalam ruang bisik-bisik. Bagi pemerintahan Soeharto, cerita
dan sejarah mengenai peristiwa itu datar dan sederhana: ia diotaki oleh
PKI dan klik kiri yang berada di dalam tubuh Angkatan Darat, serta G30S
dinyatakan sebagai gerakan yang berusaha untuk menggantikan Pancasila
yang pro-Tuhan dengan komunisme yang anti-Tuhan.
Sejak awal, Soeharto dan kelompoknya di Angkatan Darat mengaitkan
kelompok G30S dengan PKI. Untuk mempertajam imajinasi publik di tahun
1984 pemerintah Orde Baru merilis film Pengkhianatan G30S/PKI.
Selama beberapa tahun di setiap tanggal 30 September film itu diputar
ulang. Tidak cukup sampai situ, sebuah monumen yang diberi nama
Pancasila Sakti didirikan di Lubang Buaya. Semua hal ini melengkapi
ritual suci hari Kesaktian Pancasila setiap 1 Oktober.
Di masa Orde Baru, tulis John Roosa dalan Pretext for Mass Murder (2006), anti-komunis seakan menjadi agama resmi negara dengan dengan tempat suci, ritual dan hari perayaan.
Setahun setelah gelombang pembantaian besar-besaran itu dihentikan,
di depan DPRS, 16 Agustus 1967, Soeharto yang sudah menjadi pejabat
presiden memberikan justifikasi bagi pembantaian yang disponsori militer
dan didukung oleh kelompok-kelompok non-komunis terhadap siapa saja
yang disebut punya hubungan baik langsung atau tidak langsung dengan
partai komunis dan peristiwa 30 September di Jakarta.
“Komunis yang berdasarkan pada dialektika materialisme sesunggunya
adalah anti-Tuhan, sementara Pancasila mengakui Tuhan Yang Maha
Kuasa,” ujarnya. Di sisi lain, dia juga menyerang politik Nasakom
Sukarno yang menurut Soeharto mustahil dan bertentangan dengan
prinsip-prinsip demokrasi.
***
Bung Karno donder, marah, mendengar kabar dan berita yang mengatakan
bahwa para perwira Angkatan Darat yang menjadi korban dalam peristiwa di
subuh 1 Oktober 1965 mengalami penyiksaan mahahebat sebelum nyawa
mereka dihabisi. Kabar seperti ini, menurut si Bung, sengaja
disebarluaskan untuk membakar emosi rakyat dan mendorong
“gontok-gontokan” di kalangan rakyat yang akhirnya menjelma menjadi
“sembelih-sembelihan”.
Donder itu terjadi dua kali dalam 24 jam. Pertama saat si Bung
berbicara di depan wartawan di Istana Bogor, malam hari, tanggal 12
Desember 1965. Donder kedua, keesokan hari, saat Bung Karno berbicara di
depan gubernur se-Indonesia, di Istana Negara.
Kepada para wartawan, cerita Bung Karno di depan para gubernur, dia
bertanya darimana media massa mendapat cerita tentang kronologi
pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama Angkatan Darat yang
diculik kelompok Untung.
Tak ada seorang wartawan pun yang menjawab. Menteri Penerangan
Achmadi, Kepala Dinas Angkatan Darat Brigjen Ibnu Subroto dan Letkol
Noor Nasution yang mengawasi Antara pun tak bisa mengatakan darimana
mereka mendapat kabar itu.
“Saya tidak tahu apakah gubernur-gubernur tadi malam menyetel radio
atau televisi. Maka ada baiknya saya ceritakan sedikit
pendonderan-pendonderan saya tadi malam. Begini, tatkala sudah terjadi
Lubang Buaya, jenazah-jenazah daripada jenderal dibawa kesana dan
dimasukkan ke dalam sumur. Ooh, itu wartawan-wartawan suratkabar
menulis, bahwa jenderal-jenderal itu disiksa di luar perikemanuiaan.
Semua, katanya, maaf, saudari-saudari, semuanya dipotong mereka punya
kemaluan.”
“Malahan belakangan juga ada di dalam surat kabar ditulis bahwa ada
seorang wanita bernama Djamilah, mengatakan bahwa motongnya kemaluan itu
dengan pisau silet. Bukan satu pisau silet, tetapi lebih dahulu 100
anggota Gerwani dibagi silet. Dan silet ini dipergunakan untuk
mengiris-ngiris kemaluan. Demikian pula dikatakan, bahwa di antara
jenderal-jenderal itu matanya dicungkil.”
Kisah Djamilah yang disebut Bung Karno ini dimuat oleh koran Api Pantjasila,
edisi 6 November 1965. Koran ini berafiliasi dengan Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesian (IPKI), sebuah partai politik yang didukung
tentara. Di tahun 1973, bersama empat partai lain, PNI, Partai Murba,
Partai Parkindo, dan Partai Katholik, partai ini difusikan menjadi
Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Dalam laporan Api Pantjasila, Djamilah digambarkan sebagai
seorang wanita muda, 15 tahun, yang tengah hamil tiga bulan. Anggota
Gerwani ini dikatakan berasal dari Pacitan, Jawa Timur. Ia mengaku, di
Lubang Buaya dinihari itu, dia dan teman-temannya dipersenjatai silet
oleh anggota kelompok Gerakan 30 September, dan setelah itu mereka
diperintahkan untuk menyayat dan memotong kemaluan para perwira Angkatan
Darat yang jadi korban.
Sebelumnya pada edisi 20 Oktober, Api Pantjasila menurunkan
laporan yang menyebutkan bahwa kelompok pemuda yang menyerang markas
komunis di Harupanggang, di sekitar Garut, Jawa Barat, menemukan alat
yang digunakan untuk mencungkil bola mata Ahmad Yani. Sama sekali tidak
ada penjelasan bagaimana alat itu, kalau memang benar digunakan untuk
mencungkil mata Ahmad Yani, bisa berada di Harupanggang, ratusan
kilometer dari Pondok Gede.
Antara edisi 13 Desember 1965 menurunkan berita yang tak kalah sensasionalnya. Menurut Antara,
sebelum membantai korban penculikan anggota Gerwani yang telah
dipersenjatai silet terlebih dahulu menarikan tarian cabul yang dikenal
dengan nama Harum Bunga, meliuk-liukkan tubuh mereka sampai banyak di
antaranya yang hilang kesadaran dan telanjang.
Menurut peneliti dari Universitas Amsterdam, Belanda, Saskia E.
Wieringa dalam artikelnya di tahun 2003, pemerintahan Orde Baru secara
sistematis menghancurkan moral Gerwani dan lebih dari itu, wanita
Indonesia pada umumnya. Cerita kebinalan anggota Gerwani di Lubang Buaya
semakin dianggap sebagai kebenaran setelah tokoh agama dan media massa
yang berafiliasi dengan kelompok agama ikut angkat bicara.
Sinar Harapan edisi 9 Oktober mengutip pernyataan Dewan
Gereja Indonesia yang mengatakan tidak habis pikir bagaimana mungkin di
sebuah negara Pancasila yang mempercayai Tuhan tindakan amoral seperti
itu bisa terjadi. Edisi 12 Oktober koran Duta Masyarakat yang
berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Muslim terbesar di
Indonesia dan lawan lawas PKI dalam politik segitiga Nasakom, menurunkan
berita yang menggambarkan anggota Gerwani menari sambil telanjang di
depan korban yang sudah sekarat dan tewas. Tarian mereka, tulis Duta Masyarakat, mengingatkan pada upacara kaum kanibal masyarakat primitif ratusan tahun lalu.
Angkatan Bersenjata edisi 3 November menurunkan laporan
tentang pengakuan seorang anggota Pemuda Rakyat yang menyaksikan anggota
Gerwani berteriak-teriak sambil bernyanyi-nyanyi dan mempermainkan
Jenderal Ahmad Yani yang sudah sekarat tak sadarkan diri.
Berita Yudha edisi 4 November kembali menurunkan berita
tentang Gerwani. Kali ini disebutkan tentang kelompok Kancing Hitam yang
terdiri dari wanita-wanita cantik anggota Gerwani yang merelakan
tubuhnya digunakan sebagai pemuas nafsu petinggi-petinggi partai
politik. Anggota Kancing Hitam, demikian kata Berita Yudha, berusaha
sebisa mungkin merayu petinggi partai-partai itu untuk mendukung PKI.
Tidak sampai di situ. Gambaran tentang anggota Gerwani yang binal dan
bermoral rendah diabadikan Orde Baru pada relif di bagian bawah monumen
Pancasila Sakti di Lubang Buaya. Bulan Januari lalu saya menyempatkan
diri mengunjungi monumen itu dan mengamati relief tersebut. Tiga orang
anggota Gerwani sedang menari sambil tersingkap belahan dada mereka,
sementara tak jauh dari mereka seorang korban penculikan yang mungkin
sudah dibunuh dimasukkan ke dalam sumur tua Lubang Buaya.
Itulah agaknya sedikit dari banyak berita yang membuat Bung Karno donder. Dan ia masih melanjutkan pendonderannya.
“Saya pada waktu itu memakai saya punya gezond verstand, Saudara-saudara. Dan dengan memakai saya punya gezond verstand, itu saya betwiffelen,
ragukan kebenaran kabar ini. Tetapi saya melihat akibat daripada
pembakaran yang sedemikian ini. Akibatnya ialah, masyarakat seperti
dibakar. Kebencian menyala-nyala, sehingga di kalangan rakyat menjadi
gontok-gontokkan, yang kemudian malahan menjadi sembelih-sembelihan.”
“Saudara-saudara mengetahui, bahwa saya sejak mulanya berkata,
jangan, jangan, jangan, jangan sembelih-sembelihan, jangan
gontok-gontokkan, jangan panas-panasan.”
“Nah, Saudara-saudara, waktu belakangan ini saya dapat bukti, bahwa
memang benar sangkaan saya itu, bahwa jenderal-jenderal yang dimasukkan
semua ke Lubang Buaya tidak ada satu orang pun yang kemaluannya
dipotong. Saya dapat buktinya darimana? Visum repertum daripada team
dokter-dokter yang menerima jenazah-jenazah daripada jenderal-jenderal
yang dimasukkan ke dalam sumur Lubang Buaya itu.”
“Visum repertum oleh dokter dituliskannya pro justitia. Bahwa sumpah
pro justitia tidak boleh bohong, tidak boleh menambah, tidak boleh
mengurangi. Apa kenyataan itu, harus dimasukkan dalam visum repertum itu
harus jadi pegangan, sebab ini satu kenyataan, bukan khayalan.”
***
Lim Joey Thay dan empat anggota tim forensik lainnya yang memeriksa
mayat Jenderal Ahmad Yani sama sekali tak menemukan tanda-tanda
kanibalisme seperti yang diberitakan media massa yang telah dikuasai
militer dan Soeharto. Begitu juga dengan mayat enam korban lainnya.
Pada tubuh Ahmad Yani, misalnya, tim dokter menemukan delapan luka
tembak dari arah depan dan dua luka tembak dari arah belakang. Juga
ditemukan dua luka tembak yang tembus di bagian perut dan sebuah luka
tembak yang tembus di bagian punggung. Matanya masih utuh walau sudah
kempes, begitu juga dengan kemaluannya, masih ada pada tempatnya walau
sudah membusuk.
Mayat Ahmad Yani diidentifikasi oleh ajudannya, Mayor CPM Soedarto,
dan dokter pribadinya, Kolonel CDM Abdullah Hassan. Tanda di tubuh
Jenderal Ahmad Yani, berupa parut pada punggung tangan kiri dan pakaian
yang dikenakannya serta kelebihan gigi berbentuk kerucut pada garis
pertengahan rahang atas diantara gigi-gigi seri pertama, juga masih
dapat dikenali.
Dokumen visum et repertum ketujuh Pahlawan Revolusi ini ditulis dalam
format yang sama. Di pojok kanan atas halaman depan terdapat tulisan
“Departmen Angkatan Darat, Direktortat Kesehatan, Rumah Sakit Pusat, Pro
Justicia”.
Sementara di pojok kiri atas halaman depan tertulis “Salinan dari salinan.”
Bagian kepala laporan bertuliskan “Visum et Repertum” diikuti nomor
laporan pada baris bawah yang dimulai dari H.103 (Letjen Ahmad Yani)
hingga H.109 (Lettu P. Tendean).
Bagian awal dokumen ini dimulai dengan penjelasan mengenai dasar
hukum pembentukan tim dokter untuk mengotopsi mayat ketujuh perwira
Angkatan Darat. Disebutkan bahwa tim tersebut dibentuk berdasarkan
perintah Panglima Kostrad selau Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban kepada Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat di Jakarta,
tanggal 4 Oktober. Selanjutnya Kepala RSP-AD meneruskan perintah itu
kepada kelima ahli forensik tadi, termasuk Lim Joey Thay.
Berikutnya adalah bagian yang menjelaskan waktu dan tempat visum.
Tertulis pada bagian ini: “maka kami, pada tanggal empat Oktober tahun
seribu sembilan ratus enam pulu limam mulai jam setengah lima sore
sampai tanggal lima Oktober tahun seribu sembilan ratus enam puluh lima
jam setengah satu pagi, di Kamar Seksi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat,
Jakarta, telah melakukan pemeriksaan luar atas jenazah yang menurut
surat perintah tersebut di atas adalah jenazah dari pada…” diikuti
bagian yang menjelaskan jatidiri mayat dimulai dari nama, umur/tanggal
lahir, jenis kelamin, bangsa, agama, pangkat, dan terakhir jabatan.
Setiap dokumen visum et repertum itu juga menjelaskan bahwa mayat
yang diperiksa adalah “korban tembakan dan/atau penganiayaan pada
tanggal satu Oktober tahun seribu sembilan ratus enam pulu lima pada
peristiwa apa yang dinamakan Gerakan 30 September.”
Mayat-mayat ini diidentifikasi oleh orang-orang yang mengenal mereka,
serta disebutkan apa saja tanda-tanda tubuh atau tanda-tanda lain yang
melakat di mayat yang menjadi ciri utama mayat.
Selesai dengan bagian pengantar ini, barulah tim dokter membeberkan
hasil pemeriksaan luar yang mereka lakukan, dan menutupnya dengan
kesimpulan dan pernyataan bahwa hasil pemeriksaan itu dituliskan dengan
mengingat sumpah jabatan.
Bagian paling akhir dari dokumen ini mengenai autentifikasi keaslian
dokumen. Karena dokumen yang kami peroleh ini merupakan “salinan dari
salinan” maka ada dua penanda autentifikasi dalam bagian dokumen ini.
Pengesahan pertama bertuliskan “disalin sesuai aslinya” dan
ditandatangani oleh “Yang menyalin” yakni Kapten CKU Hamzil Rusli Bc.
Hk. (Nrp. 303840) selaku panitera. Dan pengesahan kedua bertuliskan
“disalin sesuai dengan salinan” dan ditandatangani oleh “panitera dalam
perkara ex LKU” Letnan Udara Satu Soedarjo Bc. Hk. (Nrp. 473726). Tidak
ditemukan petunjuk waktu kapan dokumen ini disalin dan disalin ulang.
***
Saat mengunjungi dr. Lim Joey Thay di paviliun RS St. Carolus bulan
Juni tahun lalu, saya tak menangkap guratan emosi di wajahnya. Ia tampak
begitu tenang. Ia mengikuti kami yang mengabadikan gambarnya. Sesekali
istrinya datang untuk membenarkan sarung dr. Lim Joey Thay. Atau
memberikan minum. Kami juga sempat bertemu dengan dokter yang menangani
dr. Lim Joey Thay. Kepada dokter muda ini dr. Lim Joey Thay mencoba
menjelaskan keadaannya. Sepintas tidak ada yang mengkhawatirkan. Ia
hanya butuh istirahat setelah kelelahan dan terjatuh.
Tetapi Dandhy bercerita kepada saya pengalamannya saat mewawancarai
dr. Lim Joey Thay dua tahun lalu. Beberapa kali dr. Lim Joey Thay
menitikkan airmata saat berbicara dengan terpatah-patah tentang
kebohongan yang disebarkan mengenai kondisi mayat ketujuh Pahlawan
Revolusi.
Beberapa hari lalu, Dandhy kembali menulis pesan di inbox Facebook
saya. Dia barusan mengunjungi dr. Lim Joey Thay. Kali ini bersama Kepala
Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Djoko Utomo. Pihak Arsip
Nasional kelihatannya ingin memastikan keaslian dokumen visum et
repertum itu.
Kepala ANRI merasa perlu bertemu langsung dengan dr. Lim Joey Thay,
satu dari dua anggota tim otopsi Pahlawan Revolusi yang tersisa. Dr.
Djadja, murid dr. Lim Joey Thay ikut menemani gurunya dalam pertemuan
itu.
Menurut Dandhy dalam pesan singkatnya, konsisi terakhir dr. Lim Joey Thay “benar-benar sudah sulit bicara
sumber
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar
Terima Kasih Sudah Berkunjung ,, Jangan Lupa Berikan Komentarnya Untuk Artikel Ini