TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA
Punya cita-cita setinggi langit boleh saja, asal tetap realistis. Kalau tidak, akibatnya bisa seperti nestapa yang dialami Joko Widodo (Jokowi) di masa remajanya.
Punya cita-cita setinggi langit boleh saja, asal tetap realistis. Kalau tidak, akibatnya bisa seperti nestapa yang dialami Joko Widodo (Jokowi) di masa remajanya.
Setelah lulus dari sekolah favorit, SMP Negeri 1
Surakarta (Solo), teman-teman dekatnya melanjutkan pendidikan ke SMA
Negeri 1 Solo. Sekolah yang juga punya nama dan menjadi incaran siswa
baru di kota itu, termasuk Jokowi.
Namun ambisi Jokowi, nama
pemberian pembeli mebel warga Negara Prancis, Mircl Romaknan, kandas. Ia
terdepak dari siswa yang berhak duduk di SMA 1, dan harus bersekolah di
SMA 6 Solo. Saat itu, SMA 6 adalah SMA negeri terbaru di Solo. "Waktu
tidak masuk di SMA 1, dia sudah murung kok. Dia di kamar saja, tidak mau
keluar. Keluar kalau mau ke sekolah tok. Bahkan sampai dia sakit,
panas, tipus," kata Sujiatmi, ibunda Jokowi, ketika ditemui di
kediamannya kawasan Sumber, Jalan Plaret Raya, Solo, Sabtu 18/8/2012)
pagi.
Jokowi yang duduk di samping Sujiatmi di bangku panjang
berbahan jati menimpali. "Itulah, saya pernah gagal, sekali di sekolah,"
ujar pendiri perusahaan mebel PT Rakabu dan PT Rakabu Sejahtera,
perusahaan ekspor mebel yang berbasis di Solo.
Jokowi gagal
melewati proses seleksi melalui ujian masuk sekolah, bukan seperti
sekarang yang menggunakan patokan nilai ujian nasional. "Dulu ngertilah,
mungkin ada permainan. Saya lulus SMP 1, nilai bagus. Saya ingin masuk
sekolah favorit. Saya hampir setengah tahun, murung, ngurung diri di
kamar terus. Tidak selera sekolah. Baru kelas dua dan kelas tiga, rajin,
ngebut," kata Jokowi.
Laki-laki dengan tinggi badan 175
sentimeter dan berat 53 kilo ini baru semangat belajar setelah
motivasinya dilecut sang ibu. Ibunya menasihati, agar Jokowi rajin
belajar jika ingin meraih cita-cita melanjut ke perguruan tinggi negeri
favorit. "Setelah itu, saya belajar dengan baik, dengan motivasi agar
saya bisa dapat di UGM," katanya.
Secara umum, menurut Sujiatmi,
anaknya termasuk tekun belajar. Bahkan dia tidak perlu memaksanya untuk
belajar. Dengan niat dan kemauannya sendiri, Jokowi rajin mempelajari
buku-buku sekolah serta mengerjakan tugas dengan tepat waktu. Jokowi
adalah anak penurut yang tidak perlu dijewer, pasti dia belajar sendiri.
Dia juga termasuk anak yang rajin salat dan lancar mengaji.
Jokowi
wajar kecewa dan malu masuk ke SMA Negeri 6. Sekolah itu berdiri tahun
1976 dengan nama Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan (SMPP) Nomor 40
Surakarta. Namun di masa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dijabat Daoed
Joesoef, kebijakan dan kurikulum diubah, nama SMPP diubah menjadi SMA.
Awalnya, masih satu dengan SMA Negeri 5, yang letaknya memang
berdekatan.
Saat Joko remaja masuk SMA 6 tahun 1978, baru saja
berubah status. "Jokowi adalah angkatan pertama dan lulusan pertama
tahun 1980," ujar Slamet Suripto guru fisika yang selama tiga tahun
mengajari Jokowi.
Menurut Slamet Suripto, saat itu, SMA 6 adalah
SMA negeri terakhir di Solo. SMA 1 sampai SMA 6. Muridnya pun banyak.
"Dan muridnya dianggap bodoh. Jadi guru betul-betul ngajar murid bodoh.
Tidak seperti SMA 1 yang dikenal sebagai sekolah murid pintar, favorit.
SMA 1 sekolah favorit, sedangkan SMA 6 sekolah paling jelek. Dan namanya
SMPP (Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan), jadi orang sering salah
sangka, dikira SMP," ujar Slamet.
SMPP semula disiapkan untuk
mendidik murid yang mau siap kerja, semacam sekolah menengah kejuruan
(SMK) saat ini. Dengan sasaran itu, SMPP dibangun dengan banyak
labortorium, misalnya laboratorium kayu, besi, mesin, listrik, IPS
(mengetik), dan laboratorium pembukuan.
Akan tetapi, begitu
Mendikbud Muhammad Mashuri digantikan Daud Joesof, saat itu semua SMPP
disamaratakan menjadi SMA. Lalu nama sekolah SMPP ditulis dalam kurung
SMA 6, karena banyak yang mengira SMP.
Selain mengingat sebagai
sosok ulet dan rajin belajar, sosok Jokowi semakin membekas di ingatan
Slamet karena muridnya itu lulus sebagai juara umum. Slamet Suripto juga
mengaku bangga karena dapat melihat sosok pemimpin yang berintegritas,
kaya namun tetap jujur dan sederhana, pada sosok Jokowi. Dia bangga
karena ketika mengajar, termasuk di kelas Jokowi pada tahun 1978-1980,
dia dan guru lainnya, selalu menyelipkan pesan moral.
Setiap guru
mengajarkan filsafat kehidupan, mengajarkan kepada setiap anak didiknya
untuk tetap berada pada jalur kehidupan yang mulia. Ya, walaupun dia
guru Fisika, dia tetap berusaha untuk menyelipkan pendidikan tersebut
sebagai bekal berperilaku dan tingkah pola anak didiknya setelah keluar
ke masyarakat.
"Dia sudah menjalankan apa yang ada di hati saya.
Misalnya menjadi pemimpin jujur, dia sudah jujur. Pemimpin yang
memasyarakat, dia sudah memasyarakat. Jadi apa yang saya ajarkan dulu,
sudah dia jalankan. Beda misalnya, korupsi. Tidak ada guru ngajari
muridnya korupsi," kata pensiunan yang memasuki masa purnabakti pada
tahun 2009 ini.
Murdi Suyitno, pensiunan guru Geografi SMA 6 yang
pernah mengajar Jokowi, juga membanggakan berkas muridnya itu. "Lulusan
dari SMA 6 banyak yang jadi pejabat, selain Jokowi, ada juga yang jadi
camat Banjarsari, dan lain-lain," kata Murdi yang menjadi guru sejak 17
Agustus 1959, dan pensiun dari SMA 6 pada tahun 2000. (*)
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar
Terima Kasih Sudah Berkunjung ,, Jangan Lupa Berikan Komentarnya Untuk Artikel Ini