KEDIRI, KOMPAS.com - Di
Desa Pelem dan Tulungrejo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur
saat ini tersebar ratusan lembaga kursus bahasa asing. Di antaranya yang
paling dominan adalah lembaga kursus bahasa inggris. Lalu, bagaimana
awal mula terbentuknya komplek itu?
Dari penelusuran yang dilakukan Kompas.com,
pemicu awal terbentuknya komunitas tersebut ternyata amat sederhana dan
merupakan hasil kerja keras yang dilakukan oleh satu orang saja, yaitu
seseorang yang bernama Kalend Osen.
Kalend Osen yang ditemui di
rumahnya, Jalan Anyelir, Singgahan, Pelem, Pare, Rabu (9/5/2012),
menuturkan dengan singkat perjalanan kariernya hingga tercipta maha
karya yang spektakuler ini.
Pria kelahiran 4 Pebruari 1945 ini
tampak sederhana namun begitu bersahaja. Bermula pada tahun 1976
silam, Kalend Osen adalah seorang santri asal Kutai Kartanegara yang
tengah menimba ilmu di Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.
Menginjak kelas lima, dia terpaksa meninggalkan bangku sekolah karena
tidak kuat menanggung biaya pendidikan. Bahkan, keinginannya pulang
kembali ke kampungnya gagal karena tiada biaya.
Dalam situasinya
yang sulit itu seorang temannya memberitahukan adanya seorang ustaz yang
bernama KH Ahmad Yazid di Pare yang menguasai delapan bahasa asing.
Kalend muda kemudian berniat berguru dengan harapan minimal dapat
menguasai satu atau dua bahasa asing darinya. Ia lalu mulai tinggal dan
belajar di Pesantren Darul Falah, Desa Singgahan, milik Ustaz Yazid.
Dalam
sebuah kesempatan, datang dua orang tamu mahasiswa dari IAIN Sunan
Ampel, Surabaya. Kedatangan dua mahasiswa itu untuk belajar bahasa
Inggris kepada Ustaz Yazid sebagai persiapannya menghadapi ujian negara
yang akan dihelat dua pekan lagi di kampusnya.
Kebetulan saat itu
Ustaz Yazid tengah bepergian ke Majalengka dalam suatu urusan sehingga
kedua mahasiswa itu hanya ditemui oleh ibu Nyai Ustaz Yazid. Entah
dengan alasan apa, oleh Nyai Ustaz Yazid, kedua mahasiswa itu diarahkan
untuk belajar kepada Kalend yang baru saja nyantri.
"Waktu itu saya sedang menyapu masjid dan dua mahasiwa itu menghampiri saya," kenang Kalend mengingat masa lalunya.
Dua
mahasiswa itu kemudian menyodorkan beberapa lembaran kertas yang berisi
350 soal berbahasa inggris. Setengah ingin tahu, Kalend memeriksa
soal-soal itu dan kemudian meyakini dapat mengerjakannya lebih dari 60
persen. Kalend menyanggupi permintaan itu dan mereka akhirnya terlibat
proses belajar mengajar yang dilakukan di serambi masjid area
pesantren. Pembelajarannya cukup singkat, dilakukan secara intensif
selama lima hari saja.
"Tak disangka, sebulan kemudian mereka (dua
mahasiswa) kembali dan mengabarkan telah lulus ujian. Betapa bahagianya
saya waktu itu, " kata kakek yang saat ditemui tengah mengenakan
sarung, atasan hem biru kotak-kotak serta peci hitam ini.
Keberhasilan
dua mahasiswa itu tersebar di kalangan mahasiswa IAIN Surabaya dan
banyak dari mereka akhirnya mengikuti jejak seniornya dengan belajar
kepada Kalend. Promosi dari mulut ke mulut pun akhirnya menjadi awal
terbentuknya kelas pertama.
Sejak saat itu, pada 15 Juni 1977 di
desa setempat, Kalend mendirikan lembaga kursus dengan nama Basic
English Course (BEC) dengan enam siswa pada kelas perdana. Para siswa
tersebut terus dibina dan dididik tidak hanya kemampuan bahasa inggris,
namun juga ilmu agama serta kecakapan akhlak.
Selama hampir
sepuluh tahun Kalend berjuang sendirian untuk menghidupkan lembaga
kursusnya itu dan dengan segala rintangannya dia berhasil melakukannya
dengan baik. Pada tahun 1990-an, banyak alumninya yang didorong untuk
membuat lembaga kursus untuk menampung pelajar yang tidak mendapat kuota
akibat membeludaknya pelajar di BEC.
"Saya mempunyai prinsip,
jikalau kita berkarya, selain dapat dinikmati sendiri, karya itu juga
tidak merugikan orang lain," tutur kakek rendah hati ini.
Lambat
laun lembaga kursusnya semakin bertambah jumlahnya. Namun demikian
kesemuanya mampu berjalan seirama tanpa adanya kompetisi negatif. Para
pendiri lembaga kursus itu rata-rata mempunyai ikatan sejarah yang sama,
yaitu sama-sama dari satu guru.
Eksistensi BEC hingga kini juga
tetap terjaga. Bahkan di tahun 2011 lalu telah genap meluluskan alumni
sebanyak 18.000 siswa dari berbagai penjuru nusantara. Dalam meluluskan
siswa, BEC dikenal sangat ketat.
Nur Akhlis, salah satu mantan
murid Kalend yang sukses membuka lembaga kursus sendiri dan dinamainya
Effective English Conversation Course (EECC) di Jalan Falamboyan, Desa
Tulungrejo juga membagikan ceritanya.
"Saya dulunya murid dari Pak
Kalend, dan pernah diamanatkan untuk memegang kelas. Kami memang
didorong untuk mandiri dan berkarya sehingga Alhamdulillah saya sekarang
menjadi seperti ini," kata Nur Akhlis.
Adanya dorongan itu, guru
yang juga pengurus forum pengelola kursus ini menambahkan, membuat
perkembangan kampung menjadi dinamis dan saat ini ada lebih dari 114
lembaga kursus. "Mulai sekitar tahun 2000-an, para investor dari luar
kota juga mulai melirik potensi yang ada dengan turut mendirikan lembaga
kursus," kata Nur Akhlis.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar
Terima Kasih Sudah Berkunjung ,, Jangan Lupa Berikan Komentarnya Untuk Artikel Ini