Suara pria di ujung telepon itu parau dan tak jelas. Sesekali ia terbatuk.
Sejak Merapi dinyatakan dalam status Awas beberapa pekan lalu, Komandan Operasi SAR Merapi, Suseno sudah tak ingat lagi berapa hari ia tak bercengkerama dengan keluarganya.
"Saya baru pulang hari ini, sejam, hanya untuk mengambil pakaian ganti," tutur Suseno saat dihubung wartawan, Senin malam, 1 November 2010.
Suseno dan tim SAR lainnya tinggal di posko utama di Jalan Sudirman, Yogyakarta. Kerap kali mereka bersiaga di pos di Kaliurang.
Saat bencana, mereka salah satu yang berada di garis depan. Mengevakuasi warga, termasuk mencari jenazah para korban jiwa letusan Merapi.
Sejak bertugas tahun 1987 lalu, Suseno mengakui letusan Merapi tahun 2010 ini benar-benar luar biasa.
Masih lekat alam ingatan saat ia memasuki Dusun Kinahrejo, kampung juru kunci Merapi, Mbah Maridjan, Selasa malam -- sesaat setelah letusan pertama.
Tim advance sudah lebih dulu memasuki Kinahrejo -- menemukan jenazah yang terbaring di sekitar rumah sang kuncen, sebelum buru-buru turun karena asap sedemikian tebal.
Beberapa saat kemudian, di tengah kegelapan dan debu yang menyesakkan dada, tim SAR gabungan naik. Termasuk Suseno. Sembilan jenazah dievakuasi, termasuk redaktur VIVAnew.com, Yuniawan Wahyu Nugroho.
Saat itu, mereka berpacu dengan waktu. "Kami hanya punya waktu kurang dari satu jam sesuai arahan BPPTK," kata Suseno.
Sebagai manusia, saat itu, kekhawatiran jelas ada saat itu. "Khawatir kalau ada guguran awan panas lagi. Tapi kalau melihat korban sudah biasa. Alhamdulillah, kami sudah pernah bertugas di Padang dan Aceh."
Selain berkoordinasi dengan instansi terkait, kata dia, ada lagi yang wajib diperhatikan Tim SAR, yakni adat kebiasaan di lokasi bencana.
"Misalnya, di Merapi, kalau ngomong jangan sembarangan, jangan sok, jangan merasa aku yang paling," kata dia.
Meski kematian adalah risiko, anggota tim SAR dibekali dengan prinsip: "Selamatkan diri anda sebelum menyelamatkan orang lain."
"Bukan berarti lari duluan, tapi sebelum menyelamatkan harus tahu kondisi daerahnya, misalnya di Merapi luncuran awan panas sampai mana," kata dia.
Kini, harapan Suseno sederhana, ia ingin warga sadar jika diminta mengungsi, sadar bahwa Merapi masih rawan. "Alhamdulillah di wilayah DIY warga sudah tahu, di Kinahrejo, saat letusan susulan, tak ada korban," kata dia, penuh syukur.
Jangankan istirahat cukup, tim harus siap kapanpun diperlukan terjun ke lapangan. Mengobrol dengan sesama anggota tim jadi hiburan dan penguat mental.
Ketika ingatannya kembali ke rumah, dukungan dan kerelaan keluarga jadi bekal berharga bagi Suseno.
"Putri saya, Adilia bilang pada tetangga, di manapun Bapakku mati, itu tugas mulia." kata Suseno tercekat.
"Kalau bagi saya, hidup mati di tangan Allah," kata Suseno. "Dalam pekerjaan ini yang terpenting adalah keikhlasan. "
Sejak Merapi dinyatakan dalam status Awas beberapa pekan lalu, Komandan Operasi SAR Merapi, Suseno sudah tak ingat lagi berapa hari ia tak bercengkerama dengan keluarganya.
"Saya baru pulang hari ini, sejam, hanya untuk mengambil pakaian ganti," tutur Suseno saat dihubung wartawan, Senin malam, 1 November 2010.
Suseno dan tim SAR lainnya tinggal di posko utama di Jalan Sudirman, Yogyakarta. Kerap kali mereka bersiaga di pos di Kaliurang.
Saat bencana, mereka salah satu yang berada di garis depan. Mengevakuasi warga, termasuk mencari jenazah para korban jiwa letusan Merapi.
Sejak bertugas tahun 1987 lalu, Suseno mengakui letusan Merapi tahun 2010 ini benar-benar luar biasa.
Masih lekat alam ingatan saat ia memasuki Dusun Kinahrejo, kampung juru kunci Merapi, Mbah Maridjan, Selasa malam -- sesaat setelah letusan pertama.
Tim advance sudah lebih dulu memasuki Kinahrejo -- menemukan jenazah yang terbaring di sekitar rumah sang kuncen, sebelum buru-buru turun karena asap sedemikian tebal.
Beberapa saat kemudian, di tengah kegelapan dan debu yang menyesakkan dada, tim SAR gabungan naik. Termasuk Suseno. Sembilan jenazah dievakuasi, termasuk redaktur VIVAnew.com, Yuniawan Wahyu Nugroho.
Saat itu, mereka berpacu dengan waktu. "Kami hanya punya waktu kurang dari satu jam sesuai arahan BPPTK," kata Suseno.
Sebagai manusia, saat itu, kekhawatiran jelas ada saat itu. "Khawatir kalau ada guguran awan panas lagi. Tapi kalau melihat korban sudah biasa. Alhamdulillah, kami sudah pernah bertugas di Padang dan Aceh."
Selain berkoordinasi dengan instansi terkait, kata dia, ada lagi yang wajib diperhatikan Tim SAR, yakni adat kebiasaan di lokasi bencana.
"Misalnya, di Merapi, kalau ngomong jangan sembarangan, jangan sok, jangan merasa aku yang paling," kata dia.
Meski kematian adalah risiko, anggota tim SAR dibekali dengan prinsip: "Selamatkan diri anda sebelum menyelamatkan orang lain."
"Bukan berarti lari duluan, tapi sebelum menyelamatkan harus tahu kondisi daerahnya, misalnya di Merapi luncuran awan panas sampai mana," kata dia.
Kini, harapan Suseno sederhana, ia ingin warga sadar jika diminta mengungsi, sadar bahwa Merapi masih rawan. "Alhamdulillah di wilayah DIY warga sudah tahu, di Kinahrejo, saat letusan susulan, tak ada korban," kata dia, penuh syukur.
Jangankan istirahat cukup, tim harus siap kapanpun diperlukan terjun ke lapangan. Mengobrol dengan sesama anggota tim jadi hiburan dan penguat mental.
Ketika ingatannya kembali ke rumah, dukungan dan kerelaan keluarga jadi bekal berharga bagi Suseno.
"Putri saya, Adilia bilang pada tetangga, di manapun Bapakku mati, itu tugas mulia." kata Suseno tercekat.
"Kalau bagi saya, hidup mati di tangan Allah," kata Suseno. "Dalam pekerjaan ini yang terpenting adalah keikhlasan. "
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar
Terima Kasih Sudah Berkunjung ,, Jangan Lupa Berikan Komentarnya Untuk Artikel Ini