Bencana
alam dan serangan teror tak hanya menyebabkan gangguan psikologis,
tetapi juga berdampak secara biologis. Trauma yang dirasakan para
korban bisa memicu perubahan struktur DNA, sehingga bisa diturunkan
pada anak cucu pada generasi berikutnya.
Hal ini terjadi pada keturunan para korban yang selamat dalam tragedi Holocaust atau pembantaian bangsa Yahudi oleh Nazi. Meski tidak mengalaminya langsung, sebagian besar di antaranya memiliki kadar kortisol rendah yang umumnya dipicu oleh post traumatic stress disorder (PTSD).
Dalam penelitian yang lain, Prof Eric Richard dari University of St Louis mengungkap pola serupa pada para korban Perang Dunia II. Keturunannya terutama yang berjenis kelamin perempuan punya risiko 2 kali lebih tinggi untuk menderita schizophrenia (gila).
Kedua contoh tadi menunjukkan bahwa trauma bukan sekedar gangguan psikologis. Gangguan ini diyakini memberikan dampak secara biologis, sebab satu-satunya faktor yang menentukan sifat yang diturunkan adalah struktur DNA atau deoksiribo nuleus.
Para ahli menduga, fenomena ini terjadi karena trauma memicu perubahan pada struktur DNA. Perubahan itu disebut metilasi DNA, yakni penambahan atau pengurangan gugus metil salah satu gen pada seseorang yang mengalami trauma.
Untuk membuktikan dugaan tersebut, Prof Isabel Mansuy dari University of Zurich melakukan eksperimen dengan tikus. Dikutip dari Telegraph, Rabu (24/11/2010), ia memisahkan anak tikus dari induknya yang mengalami stres, untuk digabungkan dengan tikus sehat.
Ternyata dalam perkembangannya, anak-anak tikus itu lebih mudah mengalami stres meski tidak tinggal satu kandang dengan induknya yang memang memang stres. Artinya anak-anak tikus itu mewarisi faktor risiko untuk lebih mudah stres.
Hal ini terjadi pada keturunan para korban yang selamat dalam tragedi Holocaust atau pembantaian bangsa Yahudi oleh Nazi. Meski tidak mengalaminya langsung, sebagian besar di antaranya memiliki kadar kortisol rendah yang umumnya dipicu oleh post traumatic stress disorder (PTSD).
Dalam penelitian yang lain, Prof Eric Richard dari University of St Louis mengungkap pola serupa pada para korban Perang Dunia II. Keturunannya terutama yang berjenis kelamin perempuan punya risiko 2 kali lebih tinggi untuk menderita schizophrenia (gila).
Kedua contoh tadi menunjukkan bahwa trauma bukan sekedar gangguan psikologis. Gangguan ini diyakini memberikan dampak secara biologis, sebab satu-satunya faktor yang menentukan sifat yang diturunkan adalah struktur DNA atau deoksiribo nuleus.
Para ahli menduga, fenomena ini terjadi karena trauma memicu perubahan pada struktur DNA. Perubahan itu disebut metilasi DNA, yakni penambahan atau pengurangan gugus metil salah satu gen pada seseorang yang mengalami trauma.
Untuk membuktikan dugaan tersebut, Prof Isabel Mansuy dari University of Zurich melakukan eksperimen dengan tikus. Dikutip dari Telegraph, Rabu (24/11/2010), ia memisahkan anak tikus dari induknya yang mengalami stres, untuk digabungkan dengan tikus sehat.
Ternyata dalam perkembangannya, anak-anak tikus itu lebih mudah mengalami stres meski tidak tinggal satu kandang dengan induknya yang memang memang stres. Artinya anak-anak tikus itu mewarisi faktor risiko untuk lebih mudah stres.
{ 2 komentar... read them below or add one }
artikel yang bagus mas bro
salam kenal ya
salam kenal kembali mas brooo
Posting Komentar
Terima Kasih Sudah Berkunjung ,, Jangan Lupa Berikan Komentarnya Untuk Artikel Ini