Vista.com – Direktur Eksekutif INDEF, Prof. Dr. Ahmad Erani Yustika
mengingatkan agar pemerintah tidak silau oleh pernyataan Organisasi
Kerja sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) bahwa Indonesia akan masuk
dalam 10 kelompok negara besar dunia.
Alasannya, ukuran menjadi negara besar yang digunakan organisasi tersebut hanya dilihat dari pendapatan kotor (PDB) saja. “Masalahnya, pertama, PDB itu punya siapa? Kedua, PDB itu bagaimana distribusinya?” kata Erani, menanggapi rilis OECD beberapa waktu lalu itu.
Dalam sebuah rilisnya di Paris, OECD mengungkapkan, pada 2025 Indonesia bisa masuk dalam 10 negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia. Bahkan dalam beberapa tahun berikutnya, bisa mengalahkan Inggris. Tapi dengan syarat, anggaran infrastruktur dinaikkan, yang anggarannya diambil dari pengurangan subsidi energi, agar investasi bisa naik.
Untuk hal ini Erani mengingatkan, Indonesia juga punya masalah denga investasi yang diharapkan menopang pertumbuhan itu. Saat ini, katanya, 75 persen penanaman modal berasal dari asing.
Ini berarti, penanaman modal asing (PMA) sangat dominan. Jika jumlahnya menurun drastis – bisa terjadi akibat krisis di negara asal penanam modal itu kemudian ada penarikan modal - maka akan berpengaruh terhadap kinerja perekonomian nasional.
“Seharusnya yang menjadi prioritas adalah mendorong penanaman modal dalam negeri,” tandasnya.
Selain itu, guru besar ekonomi dari Universitas Brawijaya ini menuturkan, PMA patut dianggap sebagai sumber ketimpangan pembangunan antar daerah. Dari data Badan Koordinasi Penanaman Modal hingga semester pertama tahun ini, 54,9 persen PMA berada di Jawa. Selanjutnya Sumatera (24,2 persen), Kalimantan (14,5 persen), serta sisanya pulau-plau lain.
“Jadi sebagian besar ada di Jawa,” ujarnya.
Bagi Erani, ini merupakan pekerjaan rumah yang sangat besar yang jauh lebih penting untuk diperbaiki. Yakni, bagaimana proporsi investasi domestik betul-betul menjadi lebih besar, sehingga PDB – yang jadi ukuran OECD – benar-benar mencerminkan pendapatan rakyat Indonesia.
Terkait dengan rekomendasi OECD agar pemerintah menghapus subsidi energi seperti harga bahan bakar minyak (BBM) dan mengalihkannya ke pembangunan infrastruktur, Sekretaris Komite Ekonomi Nasional Dr. Aviliani menegaskan, dalam dua tahun terakhir tampaknya tidak mungkin itu dilakukan. Alasannya, pada periode itu, Indonesia akan menghadapi pemilihan umum presiden.
“Siapa yang berani menaikkan BBM atau mengurangi subsidi? Secara politik tidak akan ada yang berani melakukan itu, karena menjadi tidak populis,” katanya.
Paling mungkin yang bisa dilakukan pemerintah, lanjut Komisaris BRI ini, melakukan pembatasan subsidi. Cara lainnya untuk mendapatkan dana pembangunan infrastruktur, menarik minat investor datang untuk menanam modal.
Dia sepakat bahwa kondisi infrastruktur Indonesia masih jauh tertinggal dibanding negara berkembang lainnya, karena itu harus diprioritaskan. Terlebih, pembangunan infrastruktur berpotensi meningkatkan daya tarik investor pada lima tahun ke depan.
Masalah lain dari infrastruktur ini, lanjut Aviliani, pembangunannya belum merata. “Untuk membangun infrastruktur kita butuh dana sektitar Rp 4.350 triliun. Kalau pemerintah harus memperketat kebijakan moneter, saya pikir tidak perlu sekarang karena kreditnya bisa berhenti,” ujarnya. Sebab, untuk membangun infrastruktur tentu butuh kredit sehingga butuh kelonggaran.
Namun Erani mengingatkan, untuk realokasi subsidi energi ke infrastruktur, pemerintah harus memiliki sikap tegas serta roadmap yang sistematis. “Tidak mungkin mengurangi subsidi tanpa ada upaya-upaya integratif yang dibangun oleh pemerintah. Jangan lupa, ketika kita mengurangi subsidi untuk minyak, lalu bagaimana dengan transportasi yang semakin ambruk dan amburadul?” katanya.
Sehingga, kalau pengurangan itu dilakukan sama saja dengan menyengsarakan masyarakat menengah ke bawah. Mereka tidak mungkin membeli mobil yang harganya mahal dan dipaksa naik transportasi yang kacau.
“Kita juga harus melihat, pemindahan alokasi belanja subsidi minyak ke infastruktur tidak semudah yang kita bayangkan. Dengan anggaran yang sedikit saja pemerintah kerap kali tidak bisa menyerap anggaran itu, karena problem pembebasan lahan yang berbelit-belit, perizinan yang sangat lama, packaging yang buruk,” jelas Erani.
Persoalan lainnya, jika subsidi dialihkan ke bidang infrastruktur, apakah ada jaminan benar-benar terserap? “Bank Dunia menemukan kasus tahun lalu, pembangunan infrastruktur jalan di Indonesia itu mark-up nya sampai 40 persen dan pemerintah kita tidak pernah membantah temuan itu,”katanya.
Untuk itu, lanjutnya, realokasi subsidi ke pembangunan infrastruktur jangan sampai tidak terserap seluruhnya atau menambah penyerapan korupsi lewat mekanisme mark up.
Intinya, Erani mengingatkan, tujuan pembangunan itu adalah pemerataan. Bukan apa-apa, isu ketimpangan pedapatan dan tindakan separatisme berakar dari kesejahteraan yang tidak merata.
“Kalau pemerintah masih mempertahankan pola pembangunan infrastruktur seperti sekarang ini yang fokus ke Jawa dan Sumatera, maka bukan hanya membuat kapasitas daerah itu menjadi melebihi kemampuan, tetapi juga bisa menciptakan problem sosial yang jauh lebih rumit untuk diselesaikan dalam jangka panjang,” jelasnya.
Menurut dia, persoalan tersebut didasarkan pada political inbalances dalam representasi politik terutama di DPR. Mengingat sebagian besar wakil rakyat mewakili Jawa dan Sumatera, maka mereka terpaksa menuruti aspirasi konstituennya masing-masing.
Kembali ke soal rilis OECD, Erani mengatakan, “Kebesaran sebuah negara tidak bisa dilihat hanya dari indikator PDB-nya saja, ini menyesatkan. Masih banyak indikator yang harus dimunculkan, yang betul-betul membumi dan bukan sesuatu yang maya atau fatamorgana.”
Alasannya, ukuran menjadi negara besar yang digunakan organisasi tersebut hanya dilihat dari pendapatan kotor (PDB) saja. “Masalahnya, pertama, PDB itu punya siapa? Kedua, PDB itu bagaimana distribusinya?” kata Erani, menanggapi rilis OECD beberapa waktu lalu itu.
Dalam sebuah rilisnya di Paris, OECD mengungkapkan, pada 2025 Indonesia bisa masuk dalam 10 negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia. Bahkan dalam beberapa tahun berikutnya, bisa mengalahkan Inggris. Tapi dengan syarat, anggaran infrastruktur dinaikkan, yang anggarannya diambil dari pengurangan subsidi energi, agar investasi bisa naik.
Untuk hal ini Erani mengingatkan, Indonesia juga punya masalah denga investasi yang diharapkan menopang pertumbuhan itu. Saat ini, katanya, 75 persen penanaman modal berasal dari asing.
Ini berarti, penanaman modal asing (PMA) sangat dominan. Jika jumlahnya menurun drastis – bisa terjadi akibat krisis di negara asal penanam modal itu kemudian ada penarikan modal - maka akan berpengaruh terhadap kinerja perekonomian nasional.
“Seharusnya yang menjadi prioritas adalah mendorong penanaman modal dalam negeri,” tandasnya.
Selain itu, guru besar ekonomi dari Universitas Brawijaya ini menuturkan, PMA patut dianggap sebagai sumber ketimpangan pembangunan antar daerah. Dari data Badan Koordinasi Penanaman Modal hingga semester pertama tahun ini, 54,9 persen PMA berada di Jawa. Selanjutnya Sumatera (24,2 persen), Kalimantan (14,5 persen), serta sisanya pulau-plau lain.
“Jadi sebagian besar ada di Jawa,” ujarnya.
Bagi Erani, ini merupakan pekerjaan rumah yang sangat besar yang jauh lebih penting untuk diperbaiki. Yakni, bagaimana proporsi investasi domestik betul-betul menjadi lebih besar, sehingga PDB – yang jadi ukuran OECD – benar-benar mencerminkan pendapatan rakyat Indonesia.
Terkait dengan rekomendasi OECD agar pemerintah menghapus subsidi energi seperti harga bahan bakar minyak (BBM) dan mengalihkannya ke pembangunan infrastruktur, Sekretaris Komite Ekonomi Nasional Dr. Aviliani menegaskan, dalam dua tahun terakhir tampaknya tidak mungkin itu dilakukan. Alasannya, pada periode itu, Indonesia akan menghadapi pemilihan umum presiden.
“Siapa yang berani menaikkan BBM atau mengurangi subsidi? Secara politik tidak akan ada yang berani melakukan itu, karena menjadi tidak populis,” katanya.
Paling mungkin yang bisa dilakukan pemerintah, lanjut Komisaris BRI ini, melakukan pembatasan subsidi. Cara lainnya untuk mendapatkan dana pembangunan infrastruktur, menarik minat investor datang untuk menanam modal.
Dia sepakat bahwa kondisi infrastruktur Indonesia masih jauh tertinggal dibanding negara berkembang lainnya, karena itu harus diprioritaskan. Terlebih, pembangunan infrastruktur berpotensi meningkatkan daya tarik investor pada lima tahun ke depan.
Masalah lain dari infrastruktur ini, lanjut Aviliani, pembangunannya belum merata. “Untuk membangun infrastruktur kita butuh dana sektitar Rp 4.350 triliun. Kalau pemerintah harus memperketat kebijakan moneter, saya pikir tidak perlu sekarang karena kreditnya bisa berhenti,” ujarnya. Sebab, untuk membangun infrastruktur tentu butuh kredit sehingga butuh kelonggaran.
Namun Erani mengingatkan, untuk realokasi subsidi energi ke infrastruktur, pemerintah harus memiliki sikap tegas serta roadmap yang sistematis. “Tidak mungkin mengurangi subsidi tanpa ada upaya-upaya integratif yang dibangun oleh pemerintah. Jangan lupa, ketika kita mengurangi subsidi untuk minyak, lalu bagaimana dengan transportasi yang semakin ambruk dan amburadul?” katanya.
Sehingga, kalau pengurangan itu dilakukan sama saja dengan menyengsarakan masyarakat menengah ke bawah. Mereka tidak mungkin membeli mobil yang harganya mahal dan dipaksa naik transportasi yang kacau.
“Kita juga harus melihat, pemindahan alokasi belanja subsidi minyak ke infastruktur tidak semudah yang kita bayangkan. Dengan anggaran yang sedikit saja pemerintah kerap kali tidak bisa menyerap anggaran itu, karena problem pembebasan lahan yang berbelit-belit, perizinan yang sangat lama, packaging yang buruk,” jelas Erani.
Persoalan lainnya, jika subsidi dialihkan ke bidang infrastruktur, apakah ada jaminan benar-benar terserap? “Bank Dunia menemukan kasus tahun lalu, pembangunan infrastruktur jalan di Indonesia itu mark-up nya sampai 40 persen dan pemerintah kita tidak pernah membantah temuan itu,”katanya.
Untuk itu, lanjutnya, realokasi subsidi ke pembangunan infrastruktur jangan sampai tidak terserap seluruhnya atau menambah penyerapan korupsi lewat mekanisme mark up.
Intinya, Erani mengingatkan, tujuan pembangunan itu adalah pemerataan. Bukan apa-apa, isu ketimpangan pedapatan dan tindakan separatisme berakar dari kesejahteraan yang tidak merata.
“Kalau pemerintah masih mempertahankan pola pembangunan infrastruktur seperti sekarang ini yang fokus ke Jawa dan Sumatera, maka bukan hanya membuat kapasitas daerah itu menjadi melebihi kemampuan, tetapi juga bisa menciptakan problem sosial yang jauh lebih rumit untuk diselesaikan dalam jangka panjang,” jelasnya.
Menurut dia, persoalan tersebut didasarkan pada political inbalances dalam representasi politik terutama di DPR. Mengingat sebagian besar wakil rakyat mewakili Jawa dan Sumatera, maka mereka terpaksa menuruti aspirasi konstituennya masing-masing.
Kembali ke soal rilis OECD, Erani mengatakan, “Kebesaran sebuah negara tidak bisa dilihat hanya dari indikator PDB-nya saja, ini menyesatkan. Masih banyak indikator yang harus dimunculkan, yang betul-betul membumi dan bukan sesuatu yang maya atau fatamorgana.”
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar
Terima Kasih Sudah Berkunjung ,, Jangan Lupa Berikan Komentarnya Untuk Artikel Ini