“Insun Medal Insun Madangan”
Jauh Tina Hiri Dengki, Nyekel Tetekon Nu Luhung, Gagah Bedas Tanpa
Lawan, Handap Asor Hade Budi, Kasabaran Nyata Elmu Katunggalan.
Dalam Carita Parahiyangan dan catatan Bujangga
Manik bahwa sekitar kaki Gunung Tompo Omas (Tampomas) terdapat sebuah Kerajaan
Medang Kahiyangan (252 – 290 M), dan menurut catatan Bujangga Manik juga bahwa
posisi Sumedang Larang berada di Cipameungpeuk, dilihat dari posisi Sumedang
Larang (998 – 1114 M) bahwa yang memegang kekuasaan waktu itu adalah Prabu
Pagulingan. Dilihat dari masa kedua kerajaan tersebut sangat berjauhan dan
tidak ada hubungan sama sekali, berdasarkan penyelusuran penyusun bahwa keturunan
dari Medang Kahiyangan merupakan keturunan Raja Salakanagara ke 5 dari Prabu
Dharma Satya Jaya Waruna Dewawarman menantu Dewawarman IV, sedangkan menurunkan
keturunan Sumedang Larang berasal Manikmaya Kerajaan Kendan menantu Suryawarman
raja Tarumanagara ke 7 yang kemudian
juga menurunkan raja-raja Galuh dan Sunda
Cikal bakal berdirinya
kerajaan Sumedang Larang berawal dari kerajaan Tembong Agung. Berdirinya
kerajaan Tembong Agung sangat erat kaitannya dengan kerajaan Galuh Pakuan yang
didirikan oleh Wretikandayun 612 M, sedangkan kerajaan Tembong Agung didirikan
oleh Prabu Guru Aji Putih 678 M di Citembong Girang Kecamatan Ganeas
Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan
Darmaraja. Prabu Guru Aji Putih merupakan
putra Ratu Komara keturunan dari Wretikandayun. Prabu Guru Aji Putih hasil
pernikahan dengan Dewi Nawang Wulan (Ratna Inten) memiliki empat orang putra;
yang sulung bernama Batara Kusuma
atau Batara Tuntang Buana yang dikenal
juga sebagai Prabu Tajimalela, yang kedua Sakawayana alias Aji Saka, yang
ketiga Haris Darma dan yang terakhir Jagat Buana yang dikenal Langlang
Buana. Dalam kropak 410 disebutkan pula bahwa Tajimalela itu adalah Panji
Romahyang putera Demung Tabela Panji Ronajaya dari Dayeuh Singapura. Tajimalela
sejajar dengan tokoh Ragamulya (1340 – 1350) penguasa di Kawali dan Suryadewata
ayah Batara Gunung Bitung di Majalengka. Dalam masa pemerintahan Niskala Wastu
Kancana (1371 – 1475), Singapura diperintah oleh putranya yang kedua Surawijaya
Sakti yang kemudian digantikan oleh adiknya Ki Gedeng Sindangkasih, putra Wastu
Kancana yang ketiga yang disebut Mangkubumi Sumedang Larang karena waktu itu
Sumedang Larang menjadi kerajaan bawahan Galuh. Kemunculan Sumedang Larang
tentu sejalan dengan kasus kemunculan kerajaan Talaga yang dirintis oleh tokoh
Praburesi yang tetap berada di bawah Galuh.
Ketika Batara Kusuma sedang bertapa ,
terjadi suatu keajaiban alam di kaki Gunung Cakrabuana, ketika langit menjadi
terang-benderang oleh cahaya yang melengkung mirip selendang (malela) selama
tiga hari tiga malam sehingga Batara Kusuma berucap “
In(g)sun Medal In(g)sun Madangan”
(In(g)sun artinya “saya”, Medal artinya lahir dan Madangan artinya memberi
penerangan) maksudnya “Aku lahir untuk memberikan penerangan” dari kata-kata
tersebut terangkailah kata Sumedang, kata Sumedang Larang
dapat juga diartikan sebagai “tanah luas yang jarang bandingnya” (Su= bagus,
Medang = luas dan Larang = jarang bandingannya), sehingga Batara Kusuma dikenal
pula sebagai Tajimalela dan kata Sumedang bisa diambil juga dari kata Su yang
berarti baik atau indah dan Medang adalah nama sejenis pohon, Litsia Chinensis sekarang dikenal
sebagai pohon Huru, dulu pohon medang banyak tumbuh subur di dataran tinggi sampai
ketinggi 700 m dari permukaan laut seperti halnya Sumedang merupakan dataran
tinggi. Selain itu Tajimalela menciptakan ilmu Kasumedangan terdiri dari 33
pasal “Sideku Sinuku Tunggal Mapat Pancadria”
ilmu yang berisikan hubungan manusia dengan Sang Pecipta dan Antara manusia
dengan manusia, seperti yang terpancar dalan tembang Sinom berikut :
Sumanget ka Sumedangan
Tara ngukut kanti risi
Tara reuwas ku beja
Sikepna titih carincing
Jauh tina hiri dengki
Nyekel tetekon nu luhung
Gagah bedas tanpa lawan
Handap asor hade budi
Kasabaran nyata elmu katunggalan
Prabu Tajimalela merupakan raja pertama Kerajaan Sumedang Larang (721 – 778 M) yang
berkedudukan Tembong Agung Darmaraja dibekas kerajaan Prabu Guru Aji Putih.
Prabu Tajimalela mempunyai tiga orang putra yaitu ; yang pertama Jayabrata atau Batara Sakti alias Prabu Lembu Agung, yang kedua Atmabrata atau Bagawan Batara Wirayuda yang
dikenal sebagai Prabu Gajah Agung, dan yang
terakhir Mariana Jaya atau Batara Dikusuma dikenal sebagai Sunan Ulun, yang pertama menjadi
raja kedua Sumedang Larang adalah Lembu Agung
(778 – 893 M) kemudian digantikan oleh Gajah Agung . Kisah awal Prabu Gajah
Agung sangat mirip kisah awal Kerajaan Mataram menurut versi Babad Tanah Jawi tetapi melihat
masa pemerintahannya Prabu Gajah Agung pada tahun 839 M sedangkan Ki Ageng
Pamanahan tahun 1582 M jelas terlihat waktu yang sangat berbeda. Menurut kisah
Babad Tanah Jawi itu Ki Ageng Sela memetik dan menyimpan buah kelapa muda
sementara Ki Ageng Sela pergi, datanglah Ki Ageng Pamanahan yang kemudian
meminumnya, yang akhirnya Ki Ageng Pamanahan menjadi Raja Mataram sedangkan
dalam Babad Darmaraja ketika Prabu Tajimalela menunjuk Lembu Agung untuk
menjadi raja Sumedang Larang yang kedua, Lembu Agung menolaknya, Lembu Agung
memilih untuk menjadi resi daripada menjadi seorang raja sepertinya adiknya
Sunan Ulun menjadi resi demikian pula dengan Gajah Agung menolak, akhirnya
Tajimalela memanggil kedua putera kembarnya yaitu Lembu Agung dan Gajah Agung,
ketika kedua puteranya datang Prabu Tajimalela menyuruh kedua puteranya untuk
menunggui sebuah kelapa muda dan sebilah pedang di tengah lapangan berapa saat
kemudian Prabu Tajimalela pergi meninggalkan mereka berdua, setelah menunggu
berapa lama kemudian Prabu Lembu Agung pergi sementara tinggallah Prabu Gajah
Agung seorang diri akhirnya Prabu Gajah Agung tak kuat menahan haus kemudian
meminumnya buah kelapa tersebut, akhirnya Prabu Tajimalela menunjuk Atmabrata yang dikenal sebagai Prabu Gajah Agung (893 – 998 M) sebagai raja Sumedang
Larang kedua, periode pemerintahan kedua keturunan Prabu Tajimalela lebih
kepada karesian dari pada keprabuan dan mulai dari sini pusat Makam Prabu
Pagulingan /Jagabaya di Nantung. pemerintahan dipindah dari Darmaraja ke
Ciguling Pasanggrahan Sumedang Selatan. Prabu Gajah Agung mempunyai putra
bernama Wirajaya atau Jagabaya atau dikenal
sebagai Prabu Pagulingan (998 – 1114 M) kemudian menjadi raja Sumedang Larang keempat. Setelah
wafatnya Prabu Pagulingan digantikan oleh Mertalaya yang
dikenal sebagai Sunan Guling (1114 – 1237 M)mempunyai tiga putra; Tirta
Kusuma dikenal sebagai Sunan Tuakan, Jayadinata dan Kusuma
Jayadiningrat. Setelah Sunan Guling wafat digantikan oleh puteranya
bernama Tirtakusuma atau Sunan Tuakan (1237 – 1462 M) sebagai raja Sumedang Larang yang keenam. Sunan Tuakan
memiliki tiga putri; yang sulung Ratu Ratnasih alias Nyi Rajamatri
diperistri oleh Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata Pakuan Pajajaran, yang
kedua Ratu Sintawati alias Nyi Mas Ratu Patuakan dan yang
ketiga Sari Kencana diperisteri oleh Prabu Liman Sanjaya
keturunan Prabu Jaya Dewata.
Situs bekas Benteng Keraton Sumedang
Larang di Ciguling – Ds. Pasanggrahan
Sumedang Selatan.
Kemudian Sunan Tuakan digantikan oleh
putrinya yang kedua yang bernama Ratu Sintawati alias Nyai Mas Patuakan (1462 – 1530 M) sebagai raja Sumedang
Larang ketujuh, Ratu Sintawati menikah dengan Sunan Corenda raja Talaga putera
Ratu Simbar Kancana dari Kusumalaya putra Dewa Niskala penguasa Galuh. Dari
Ratu Sintawati dan Sunan Corenda mempunyai putri bernama Satyasih atau
dikenal sebagai Ratu Inten Dewata setelah menjadi penguasa Sumedang yang
kedelapan bergelar Ratu Pucuk Umum
(1530 – 1578 M).
Pada masa
Ratu Sintawati agama Islam mulai menyebar di Sumedang pada tahun 1529 M. Agama
Islam disebarkan oleh Maulana Muhammad alias Pangeran Palakaran putera Maulana
Abdurahman alias Pangeran Panjunan. Pangeran Palakaran menikah dengan Nyi
Armilah seorang puteri Sindangkasih Majalengka dan hasil pernikahan tersebut
pada tanggal 6 bagian gelap bulan jesta tahun 1427 saka (+ 29 Mei 1505
M) lahirlah seorang putra bernama Rd. Solih atau Ki Gedeng
Sumedang alias Pangeran Santri. Kemudian Pangeran Santri menikah
dengan Ratu Pucuk Umum, yang akhirnya Pangeran Santri menggantikan Ratu Pucuk Umum sebagai penguasa
Sumedang, Pangeran Santri dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan
gelar Pangeran Kusumadinata I pada
tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 saka (+ 21 Oktober 1530
M), Pangeran Santri merupakan murid Sunan Gunung Jati.
Pangeran Santri
merupakan penguasa Sumedang pertama yang menganut agama Islam dan berkedudukan
di Kutamaya Padasuka sebagai Ibukota Sumedang Larang yang baru, sampai sekarang
di sekitar situs Kutamaya dapat dilihat batu bekas fondasi tajug keraton
Kutamaya. Pada tanggal 3 bagian terang bulan srawana tahun 1480 saka (+
19 Juli 1558 M) lahirlah Pangeran Angkawijaya yang kelak bergelar Prabu Geusan
Ulun putera dari Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umum. Pada masa pemerintahan
Pangeran Santri kekuasaan Pajajaran sudah menurun di beberapa daerah termasuk
Sumedang dan pada tanggal 11 Suklapaksa bulan Wesaka 1501 Sakakala atau tanggal
8 Mei 1579 M Pajajaran “Sirna ing bumi” Ibukota
Padjajaran jatuh ke tangan pasukan Kesultanan Surasowan Banten . Pada tahun
1578 tepatnya pada hari Jum’at legi tanggal 22 April 1578 atau bulan syawal
bertepatan dengan Idul Fitri di Keraton Kutamaya Sumedang Larang Pangeran
Santri menerima empat Kandaga Lante
yang dipimpin oleh Sanghiang Hawu
atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradidjaya (Nganganan), Sangiang Kondanghapa,
dan Batara Pancar Buana Terong Peot membawa pusaka
Pajajaran dan alas parabon untuk di serahkan kepada penguasa Sumedang Larang
dan pada masa itu pula Pangeran Angkawijaya / Pangeran Kusumadinata II dinobatkan
sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1578 – 1610) sebagai nalendra penerus kerajaan
Sunda dan mewarisi daerah bekas wilayah Pajajaran, sebagaimana dikemukakan
dalam Pustaka Kertabhumi I/2 (h. 69) yang berbunyi; “Ghesan
Ulun nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirnz, ing
bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya ri
Sumedangmandala” (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang
telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahiyangan. Keraton raja Sumedang ini
terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang) selanjutnya diberitakan “Rakyan Samanteng Parahyangan mangastungkara
ring sira Pangeran Ghesan Ulun” (Para penguasa lain di Parahiyangan
merestui Pangeran Geusan Ulun). “Anyakrawartti” biasanya digunakan kepada
pemerintahan seorang raja yang merdeka dan cukup luas kekuasaannya. Dalam hal
ini istilah “nyakrawartti” maupun “samanta” sebagai bawahan, cukup layak
dikenakan kepada Prabu Geusan Ulun, hal ini terlihat dari luas daerah yang
dikuasainya, dengan wilayahnya meliputi seluruh Padjajaran sesudah 1527 masa
Prabu Prabu Surawisesa dengan batas meliputi; Sungai Cipamali (daerah Brebes
sekarang) di sebelah timur, Sungai Cisadane di sebelah barat, Samudra Hindia
sebelah Selatan dan Laut Jawa sebelah utara. Daerah yang tidak termasuk wilayah
Sumedang Larang yaitu Kesultanan Banten, Jayakarta dan Kesultanan Cirebon.
Dilihat dari luas wilayah kekuasaannya, wilayah Sumedang Larang dulu hampir
sama dengan wilayah Jawa Barat sekarang tidak termasuk wilayah Banten dan
Jakarta kecuali wilayah Cirebon sekarang menjadi bagian Jawa Barat.
Pada saat penobatannya Pangeran Angkawijaya berusia 22 tahun lebih 4
bulan., sebenarnya Pangeran Angkawijaya terlalu muda untuk menjadi raja
sedangkan tradisi yang berlaku bahwa untuk menjadi raja adalah 23 tahun tetapi
Pangeran Angkawijaya mendapat dukungan dari empat orang bersaudara bekas
Senapati dan pembesar Pajajaran, keempat bersaudara tersebut merupakan
keturunan dari Prabu Bunisora Suradipati. Dalam Pustaka
Kertabhumi I/2 menceritakan keempat bersaudara itu “Sira paniwi dening Prabu Ghesan Ulun. Rikung
sira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabhun mwang salwirnya”
(Mereka mengabdi kepada Prabu Geusan Ulun. Di sana mereka membina bala tentara,
ditugasi mengatur pemerintahan dan lain-lainnya), sehingga mendapat restu dari
44 penguaa daerah Parahiyangan yang terdiri dari 26 Kandaga Lante, Kandaga
Lante adalah semacam Kepala yang satu tingkat lebih tinggi dari pada Cutak
(Camat) dan 18 Umbul dengan cacah sebanyak + 9000 umpi, untuk menjadi
nalendra baru pengganti penguasa Pajajaran yang telah sirna. Tidak semuanya
bekas kerajaan bawahan Pajajaran mengakui Prabu Geusan Ulun sebagai nalendra ,
sehingga terpaksa Prabu Geusan Ulun menaklukan kembali kerajaan-kerajaan
tersebut seperti Karawang, Ciasem, dan Pamanukan.
HANJUANG DI KUTAMAYA.
Pada masa
pemerintahan Prabu Geusan Ulun ada suatu peristiwa penting, menurut Pustaka
Kertabhumi I/2 (h.70) peristiwa Harisbaya terjadi tahun 1507 saka atau 1585 M.
Peristiwa ini dimulai ketika Prabu Geusan Ulun pulang berguru dari Demak dan
Pajang, singgah di Keraton Panembahan Ratu penguasa Cirebon ketika Prabu Geusan
Ulun sedang bertamu di Cirebon, sang Prabu bertemu dengan Ratu Harisbaya isteri
kedua Panembahan Ratu yang masih muda dan cantik. Harisbaya merupakan puteri
Pajang berdarah Madura yang di “berikan” oleh Arya Pangiri penguasa Mataram
kepada Panembahan Ratu. Pemberian Harisbaya ke Panembahan Ratu oleh Arya
Pangiri agar Panembahan Ratu bersikap netral karena setelah Hadiwijaya raja
Pajang wafat terjadilah perebutan kekuasaan antara keluarga keraton Pajang yang
didukung oleh Panembahan Ratu menghendaki agar yang menggantikan Hadiwijaya
adalah Pangeran Banowo putra bungsunya, tetapi pihak keluarga Trenggono di
Demak menghendaki Arya Pangiri putra Sunan Prawoto dan menantu Hadiwijaya
sebagai penggantinya yang akhirnya Arya Pangirilah yang meneruskan kekuasaan di
Pajang.
Selama berguru di Demak
Prabu Geusan Ulun belajar ilmu keagamaan, sedangkan di Pajang berguru kepada
Hadiwijaya belajar ilmu kenegaraan dan ilmu perang, selama di Pajang inilah
Prabu Geusan Ulun berjumpa dengan Harisbaya dan menjalin hubungan kekasih yang
akhirnya hubungan kekasih ini terputus karena Ratu Harisbaya di paksa nikah
dengan Panembahan Ratu oleh Arya Pangiri. Ada kemungkinan setelah pulang
berguru dari Demak dan Pajang Prabu Geusan Ulun singgah di Cirebon untuk
memberikan ucapan selamat kepada Panembahan Ratu atas pernikahannya dengan
Harisbaya dan sekalian melihat mantan kekasih. Melihat mantan kekasihnya datang
rasa rindu dan cintanya Harisbaya ke Geusan Ulun makin mengebu-gebu, setelah
Panembahan Ratu tidur Harisbaya mengedap-edap mendatangi tajug keraton dimana
Prabu Geusan Ulun beristirahat dan Harisbaya datang membujuk Geusan Ulun agar
membawa dirinya ke Sumedang ketika itu Geusan Ulun bingung karena Harisbaya
adalah istri pamanya sendiri sedangkan Harisbaya mengancam akan bunuh diri
apabila tidak dibawa pergi ke Sumedang, setelah meminta nasehat kepada empat
pengiringnya akhirnya malam itu juga Harisbawa dibawa pergi ke Sumedang.
Keesokan paginya keraton Cirebon gempar karena permaisuri hilang beserta
tamunya, melihat istrinya hilang Panembahan Ratu memerintahkan prajuritnya
untuk mengejar tetapi prajurit bayangkara Cirebon yang mengusul Geusan Ulun
rombongan dapat dipukul mundur oleh empat pengiring sang prabu. Akibat
peristiwa Harisbaya tersebut terjadilah perang antara Sumedang dan Cirebon,
sebelum berangkat perang Jaya Perkosa berkata kepada Prabu Geusan Ulun, ia akan
menanam pohon Hanjuang di Ibukota Sumedang Larang
(Kutamaya) sebagai tanda apabila ia kalah atau mati pohon hanjuang pun akan
mati dan apabila ia menang atau hidup pohon hanjuang pun tetap hidup, sampai
sekarang pohon hanjuang masih hidup? Setelah berkata, Jaya Perkosa berangkat
bertempur karena pasukan Cirebon sangat banyak maka perangpun berlangsung lama
dalam perang tersebut dimenangkan oleh Jaya Perkosa, dipihak lain Nangganan,
Kondang Hapa dan Terong Peot kembali ke Kutamaya sedangkan Jayaperkosa terus
mengejar pasukan Cirebon yang sudah cerai berai. Di Kutamaya Prabu Geusan Ulun
menunggu Jaya Perkosa dengan gelisah dan cemas, karena anjuran Nangganan yang
mengira Senapati Jaya Perkosa gugur dalam medan perang agar Prabu Geusan Ulun
segera mengungsi ke Dayeuh Luhur tanpa melihat dulu pohon hanjuang yang
merupakan tanda hidup matinya Jaya Perkosa. Maka sejak itu Ibukota Sumedang
Larang pindah dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur. Keputusan Geusan Ulun memindahkan
pusat pemerintahan ke Dayeuh Luhur sesungguhnya merupakan langkah logis dan
mudah difahami. Pertama, dalam situasi gawat menghadapi kemungkinan tibanya
serangan Cirebon, kedua benteng Kutamaya yang mengelilingi Ibukota belum
selesai dibangun, ketiga, Dayeuh Luhur di puncak bukit merupakan benteng alam
yang baik dan terdapat kabuyutan kerajaan.
Jayaperkosa kembali ke
Kutamaya dengan membawa kemenangan tetapi ia heran karena Ibukota telah kosong
sedang pohon hanjuang tetap hidup akhirnya Jaya Perkosa menyusul ke Dayeuh
Luhur dan setelah bertemu dengan Prabu Geusan Ulun, ia marah kepada Nangganan
bahkan membunuhnya dan meninggalkan rajanya sambil bersumpah tidak akan mau
mengabdi lagi kepada siapapun juga.Terdengar kabar dari Cirebon terdengar bahwa
Panembahan Ratu akan menceraikan Harisbaya sebagai ganti talaknya daerah
Sindangkasih. Akhirnya Prabu Geusan Ulun menikah dengan Harisbaya dan berputra
dua, Raden Suriadiwangsa dan Pangeran Kusumahdinata, sedangkan dari istri
pertamanya Nyi Gedeng Waru berputra Rangga Gede. Setelah Prabu Geusan Ulun
wafat merupakan akhir dari nalendra kerajaan Sunda Sumedang Larang dan Sumedang
memasuki masa kebupatian ketika dipimpin oleh Raden Suriadiwangsa / Rangga
Gempol dan menjadi bawahan Mataram.
Peristiwa
penobatan Prabu Geusan Ulun sebagai Cakrawarti atau Nalendra
merupakan kebebasan Sumedang untuk mengsejajarkan diri dengan kerajaan Banten
dan Cirebon. Arti penting yang terkandung dalam peristiwa itu ialah pernyataan
bahwa Sumedang menjadi ahli waris serta penerus yang sah dari kekuasaan
Kerajaan Pajajaran di Bumi Parahiyangan. Pusaka Pajajaran dan beberapa atribut
kerajaan yang dibawa oleh Senapati Jaya Perkosa dari Pakuan dengan sendirinya
dijadikan bukti dan alat legalisasi keberadaan Sumedang, sama halnya dengan
pusaka Majapahit menjadi ciri keabsahan Demak dan Mataram.
II. MASA KEBUPATIAN.
1. RANGGA GEMPOL / PANGERAN SURIADIWANGSA
Pada tahun
1610 Prabu Geusan Ulun wafat dan digantikan oleh putranya Pangeran Aria
Soeriadiwangsa I dari Ratu Harisbaya istri kedua Geusan Ulun. Setelah wafatnya
Geusan Ulun negeri-negeri bawahan Sumedang Larang dahulu, seperti Karawang,
Ciasem, Pamanukan dan Indramayu dan lain-lain melepaskan diri dari Sumedang
Larang sehingga wilayah kekuasaan Pangeran Aria Soeriadiwangsa I menjadi lebih
kecil meliputi Parakanmuncang, Bandung dan Sukapura (Tasikmalaya). Setelah
menjadi Bupati Pangeran Aria Suriadiwangsa memakai gelar Dipati Kusumadinata III dengan Ibukota
pemerintahan dipindahkan dari Dayeuh Luhur ke Tegal Kalong, sedangkan putra
Geusan Ulun dari Nyai Mas Gedeng Waru, Pangeran Rangga Gede diangkat menjadi
bupati Sumedang dan berkedudukan di Canukur, pada masa itu Sumedang di bagi
menjadi dua pemerintahan, setelah wafatnya Pangeran Aria Soeriadiwangsa di
Mataram, Sumedang disatukan kembali oleh Rangga Gede dengan Ibukota di
Parumasan Kecamatan Conggeang Sumedang.
Pada masa Pangeran Aria
Soeriadiwangsa, Mataram melakukan perluasan wilayah ke segala penjuru tanah air
termasuk ke Sumedang. Pada waktu itu Sumedang Larang sudah tidak mempunyai
kekuatan untuk melawan yang akhirnya Pangeran Aria Soeriadiwangsa I pergi ke
Mataram untuk menyatakan penyerahan Sumedang Larang menjadi bagian wilayah
Mataram pada tahun 1620. Wilayah bekas Sumedang Larang diganti nama menjadi Priangan yang berasal dari kata “Prayangan” yang berarti daerah
yang berasal dari pemberian dan tugas yang timbul dari hati yang ikhlas dan
Pangeran Aria Soeriadiwangsa I diangkat menjadi Bupati Wadana dan diberi gelar Rangga Gempol atau
Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata. Penyerahan Sumedang ke Mataram
karena Pangeran Aria Soeriadiwangsa I mengganggap Sumedang sudah lemah dari
segi kemiliteran, menghindari serangan dari Mataram karena waktu itu Mataram
memperluas wilayah kekuasaannya dari segi kekuatan Mataram lebih kuat daripada
Sumedang dan menghindari pula serangan dari Cirebon. Sultan Agung kemudian
membagi-bagi wilayah Priangan menjadi beberapa Kabupaten yang masing-masing
dikepalai seorang Bupati, untuk koordinasikan para bupati diangkat seorang
Bupati Wadana. Pangeran Rangga Gempol adalah Bupati Sumedang yang pertama
merangkap Bupati Wadana Prayangan (1620 – 1625). Pada tahun 1614 Sultan Agung
mengemukakan pengakuan atas seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten dan
Cirebon kepada VOC . Pada tahun 1624 Rangga Gempol diminta Sultan Agung untuk
membantu menaklukan Sampang Madura. Jabatan Bupati di Sumedang sementara
dipegang oleh Rangga Gede . Penaklukan Sampang oleh Rangga Gempol tidak melalui
peperangan tetapi melalui jalan kekeluargaan karena Bupati Sampang masih
berkerabat dengan Rangga Gempol dari garis keturunan ibunya Harisbaya, sehingga
Bupati Madura menyatakan taat kepada Pangeran Rangga Gempol. Atas keberhasilnya
Rangga Gempol tidak diperkenankan kembali ke Sumedang oleh Sultan Agung, sampai
sekarang ada kampung bernama Kasumedangan yang dahulunya merupakan tempat
menetap para bekas prajurit Rangga Gempol dari Sumedang. Sejak Rangga Gempol
menetap di Mataram, pemerintahan di Sumedang dipegang oleh Pangeran Rangga Gede
(1625 – 1633). Pangeran Rangga Gempol wafat di Mataram dimakamkan di
Lempuyanganwangi. Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata meninggalkan 5
putera – putri, salah satunya anak pertama Raden Kartajiwa / Raden
Soeriadiwangsa II menuntut haknya sebagai putra mahkota akan tetapi Rangga Gede
menolaknya sehingga Raden Soeriadiwangsa II meminta bantuan kepada Sultan
Banten untuk merebut kabupatian Sumedang dari Pangeran Rangga Gede, meskipun
Banten memenuhi permintaan Raden Suriadiwangsa tetapi serangan langsung tentara
Banten ke Sumedang pada masa Pangeran Panembahan (1656 – 1706). Pada tahun 1641
wilayah Sumedang Larang meliputi Pamanukan, Ciasem, Karawang, Sukapura,
Limbangan, Bandung dan Cianjur dibagi menjadi empat Kabupaten yaitu Sumedang,
Sukapura, Parakanmuncang dan Bandung dan pada tahun 1645 dibagi lagi menjadi 12
ajeg (setaraf Kabupaten) yaitu
Sumedang, Parakanmuncang, Bandung, Sukapura, Karawang, Imbanagara, Wirabaya,
Kawasen, Sekace, Banyumas, Ayah dan Banjar. Pada tahun 1656 jabatan Bupati
Wadana dihapuskan dan setiap bupati langsung dibawah Mataram. Sejak wafatnya
Rangga Gede digantikan oleh puteranya Raden Bagus Weruh /Rangga Gempol II (1633
– 1656) menjadi Bupati Sumedang sedangkan jabatan Bupati Wadana dipegang oleh
Dipati Ukur / Raden Wangsanata Bupati Purbalingga dengan tempat pemerintahan di
Bandung. Jabatan Bupati Wadana diberikan ke Dipati Ukur dari Rangga Gede karena
Rangga Gede dianggap tidak mampu menjaga wilayah Mataram dari tentara Banten
memasuki daerah yang dikuasai Mataram yaitu Pamanukan dan Ciasem (peristiwa
Raden Suriadiwangsa II).
2. PANGERAN RANGGA GEDE.
Seperti di
cerita diatas, sejak Pangeran Rangga Gempol III pergi ke Mataram, pemerintahan
di Sumedang dipegang oleh saudaranya Pangeran Rangga Gede / Kusumahdinata IV (1625 – 1633).
3. PANGERAN RANGGA GEMPOL II
Setelah
wafatnya Rangga Gede digantikan oleh putranya Raden Bagus Weruh setelah menjadi
bupati memakai nama Pangeran Rangga Gempol II / Kusumahdinata V (1633 – 1656), Pangeran Rangga Gempol II
tidak diangkat menjadi Bupati Wadana tetapi hanya Dipati Sumedang saja.
Bupati
Wadana, sejak Amangkurat I menjadi Sultan Mataram tidak ada lagi, dengan
demikian Rangga Gempol II hanya menjadi Bupati Sumedang. Pada tahun 1655
pembagian kabupatian – kabupatian bukanlah pada wilayah kabupatian tetapi
cacahnya. Demikian pula batas kekuasaan bukan batas teritorial tetapi batas
sosial, tiap kabupaten mendapat + 300 umpi. Sumedang dengan cacah satu perempat
dari cacah Sumedang pada masa Rangga Gede. Setelah Rangga Gempol II wafat
digantikan oleh putra Pangeran Panembahan.
4. PANGERAN PANEMBAHAN / RANGGA GEMPOL
III
Pangeran
Rangga Gempol III (1656 – 1706) adalah bupati yang cerdas, lincah, loyal,
berani dan perkasa. Pada masa pemerintahannya penuh dengan perjuangan dan
patriotisme beringinan mengembalikan kejayaan masa Sumedang Larang. Pangeran
Rangga Gempol III / Kusumahdinata
VI dikenal juga sebagai Pangeran Panembahan, gelar Panembahan
diberikan oleh Susuhunan Amangkurat I Mataram karena atas bakti dan
kesetiaannya kepada Mataram. Kekuatan dan kekuasaan Pangeran Panembahan adalah
paling besar di seluruh daerah yang dikuasai oleh Mataram di Jawa Barat
berdasarkan pretensi Mataram tahun 1614. Pada masa Pangeran Panembahan pula di
Sumedang dibuka areal persawahan sehingga waktu itu kebutuhan pangan rakyat
tercukupi .
Pada tahun
1614 Mataram mengemukakan pretensi (pengakuan) bawah seluruh Jawa Barat kecuali
Banten dan Cirebon dibawah kekuasaan Sultan Agung. Berdasarkan pretensi inilah
Mataram menganggap Batavia sebagai perebutan wilayah Mataram. Pangeran
Panembahan adalah bupati pertama yang berani menentang dan mampu memperalat
kompeni VOC. Pangeran Panembahan berani menentang dan melepaskan diri dari
Mataram dan berani dan mampu menghadapi Banten.
Setelah
wafatnya Sultan Agung Mataram (1645) digantikan oleh puteranya Susuhunan
Amangkurat I (1645 – 1677). Pada tahun 1652 Mataram mengadakan kontrak dengan
VOC secara lisan, VOC diberi hak pakai secara penuh oleh Mataram atas daerah
sebelah barat Sungai Citarum dengan demikian Sumedang tidak termasuk daerah
yang diserahkan kepada kompeni oleh Mataram yang waktu itu Sumedang dibawah
pemerintahan Raden Bagus Weruh / Rangga Gempol II, atas perjanjian tersebut VOC
tidak puas maka pada tahun 1677 VOC kembali mengadakan perjanjian secara
tertulis, perjanjian tersebut disaksikan oleh Pangeran Panembahan. Salah satu
butir dalam perjanjian tersebut bahwa batas sebelah barat antara Cisadane dan
Cipunagara harus diserahkan mutlak oleh Mataram kepada VOC dan menjadi milik
penuh VOC, kemudian dari hulu Cipunagara ditarik garis tegak lurus sampai
pantai selatan dan laut Hindia. Permintaan VOC tersebut oleh Susuhunan
Amangkurat I ditolak dan Susuhunan Amangkurat I mengatakan bahwa daerah antara
Citarum dan Cipunagara bahwa daerah tersebut merupakan kekuasaan kebupatian
Sumedang yang dipimpin oleh Pangeran Panembahan bukan daerah kekuasaan Mataram.
Daerah antara Citarum dan Cipunagara merupakan bekas daerah kekuasaan Sumedang
Larang ketika dipimpin oleh Prabu Geusan Ulun. Penolakan tersebut diterima
dengan baik oleh VOC, sedangkan butir perjanjian lain disetujui oleh Mataram.
Dengan demikian VOC menyetujui perjanjian tersebut dengan catatan daerah yang
diserahkan pada tahun 1652 menjadi milik VOC .
Makam
Pangeran Rangga Gempol III / Pangeran Panembahan
di Gunung
Puyuh Kecamatan Sumedang Selatan.
Cita – cita Pangeran
Panembahan untuk menguasai kembali bekas wilayah kerajaan Sumedang Larang bukan
perkara yang mudah karena beberapa daerah sudah merupakan wilayah dari Banten,
Cirebon, Mataram dan VOC. Sebagai sasaran penaklukan kembali adalah pantai
utara Jawa seperti Karawang, Ciasem, Pamanukan dan Indramayu yang merupakan
kekuasaan dari Mataram. Pangeran Panembahan meminta bantuan kepada Banten
karena waktu itu Banten sedang konflik dengan Mataram tetapi setelah
dipertimbangkan langkah tersebut kurang bijaksana karena masalah Raden
Suriadiwangsa II, sedangkan permohonan bantuan Pangeran Panembahan tersebut
diterima dengan baik oleh Banten dan mengajak Sumedang untuk berpihak kepada
Banten dalam menghadapi VOC dan Mataram. Ajakan dari Banten tersebut ditolak
oleh Pangeran Panembahan dan menyadari sepenuhnya Sultan Agung akan menyerang
Sumedang, yang akhirnya Banten menyerang Sumedang. Oleh karena itu Pangeran
Panembahan mengirim surat kepada VOC pada tanggal 25 Oktober 1677 yang isinya
memohon kepada VOC menutup muara sungai Cipamanukan dan pantai utara untuk
mencegat pasukan Banten sedangkan penjagaan di darat ditangani oleh Sumedang.
Sebagai imbalan VOC diberi daerah antara Batavia dan Indramayu, sebenarnya
daerah tersebut sudah diberikan oleh Mataram kepada VOC berdasarkan kontrak
tahun 1677 kenyataannya Sumedang tidak memberikan apa-apa kepada VOC .
Sebenarnya dalam perjanjian kontrak antara Mataram dengan VOC pada 25 Februari
1677 dan 20 Oktober 1677 yang diuntungkan adalah Sumedang karena secara tidak
langsung VOC akan menempatkan pasukan untuk menjaga wilayahnya dan akan
menghambat pasukan Banten untuk menyerang Sumedang sehingga Pangeran Panembahan
dapat memperkuat kedudukan dan pertahanannya di Sumedang. Meskipun demikian VOC
bersedia membantu Sumedang dan Kecerdikan Pangeran Panembahan tidak disadari
oleh VOC dan VOC menganggap Sumedang sebagai kerajaan yang berdaulat dan
merdeka. Pangeran Panembahan juga mengadakan hubungan dengan Kepala Batulajang
(sebelah selatan Cianjur) Rangga Gajah Palembang merupakan cucu Dipati Ukur.
Serangan pertama
Sumedang di pantai utara adalah daerah Ciasem, Pamanukan dan Ciparagi dengan
mudah dikuasai oleh Pangeran Panembahan. Di Ciparigi Sumedang menempatkan
pasukannya sebagai persiapan menyerang Karawang. Setelah daerah-daerah tersebut
dikuasai oleh Pangeran Panembahan, pasukan Sumedang bersiap untuk menaklukan
Indramayu tetapi Indramayu tidak diserang karena keburu mengakui Pangeran
Panembahan sebagai pimpinannya. Dengan demikian daerah pantai utara Jawa antara
Batavia dan Indramayu merupakan kekuasaan mutlak Sumedang. Ketika Pangeran
Panembahan sibuk menaklukan pantai utara, Sultan Banten bersiap untuk menyerang
Sumedang .
Pada tahun 10 Maret
1678 pasukan Banten bergerak untuk menyerang Sumedang melalui Muaraberes
/Bogor, Tangerang ke Patimun Tanjungpura dan berhasil melalui penjagaan VOC,
awal Oktober pasukan Banten telah datang di Sumedang tetapi pasukan Banten
tidak bisa masuk ke Ibukota karena Pangeran Panembahan bertahan dengan gigih.
Pada serangan pertama ini Banten mengalami kegagalan karena tepat waktu Ibukota
Sumedang diserang, di Banten terjadi perselisihan antara Sultan Agung Tirtayasa
dan Sultan Haji Surasowan,. Selama sebulan lamanya tentara Banten yang dipimpin
oleh Raden Senapati bertempur dan Raden Senapati tewas dalam pertempuran
tersebut sehingga pasukan Banten ditarik mundur karena Sultan Agung memerlukan
pasukan untuk menghadapi puteranya Sultan Haji. Pangeran Panembahan akhirnya
menguasai seluruh daerah pantai utara dan Pangeran Panembahan berkata kepada
VOC akan taat dan patuh asalkan terus membantunya terutama pengiriman senjata
dan mesiu tetapi Pangeran Panembahan tidak taat bahkan menentang kompeni VOC
dan tidak pernah datang ke Batavia dan tidak pernah pula memberi penghormatan
atau upeti kepada VOC, yang akhirnya VOC menarik pasukannya dari pantai utara..
Setelah menguasai pantai utara Pangeran Panembahan menguasai daerah kebupatian
yang dibentuk oleh Mataram pada tahun 1641 seperti Bandung, Parakan muncang,
dan Sukapura . Dengan demikian Pangeran Panembahan menguasai kembali seluruh
daerah bekas Sumedang Larang kecuali antara Cisadane dan Cipunagara yang telah
diserahkan oleh Mataram kepada VOC tahun 1677. Sehingga Sumedang mencapai
puncak kejayaannya kembali setelah pada masa Prabu Geusan Ulun. Penarikan
pasukan VOC dari pantai utara membuka peluang bagi Banten dengan mudah untuk
masuk wilayah Sumedang. Dalam melakukan penaklukan daerah-daerah di pantai
utara dan menghadapi Banten, Pangeran Panembahan dilakukan sendiri berserta
pasukan Sumedang tanpa ada bantuan dari VOC sama sekali, bantuan VOC hanya
menjaga batas luar wilayah Sumedang dan selama menjaga VOC tidak pernah
terlibat perang secara langsung di wilayah kekuasaan Pangeran Panembahan,
bantuan lain dari VOC berupa pengiriman beberapa pucuk senjata dan meriam
setelah Sumedang pertama kalinya diserang oleh Banten.
Pada awal oktober 1678
pasukan Banten kedua kalinya kembali menyerang Sumedang, serangan pertama
pasukan Banten merebut kembali daerah-daerah yang dikuasai oleh Sumedang di
pantai utara, Ciparigi, Ciasem dan Pamanukan akhirnya jatuh ke tangan pasukan
Banten sedangkan pasukan kompeni yang dahulu menjaga daerah tersebut telah
ditarik . Akhirnya pasukan Bali dan Bugis bergabung dengan pasukan Banten
bersiap untuk menyerang Sumedang. Pada awal bulan puasa pasukan gabungan
tersebut telah mengepung Sumedang, pada tanggal 18 Oktober 1678 hari Jumat pasukan
Banten di bawah pimpinan Cilikwidara dan Cakrayuda menyerang Sumedang tepat
Hari Raya Idul Fitri dimana ketika Pangeran Panembahan beserta rakyat Sumedang
sedang melakukan Sholat Ied di Mesjid Tegalkalong, serangan pasukan Banten ini
tidak diduga oleh Pangeran Panembahan karena bertepatan dengan Hari Raya dimana
ketika Pangeran Panembahan dan rakyat Sumedang sedang beribadah kepada Allah.
Akibat serangan ini banyak anggota kerabat Pangeran Panembahan yang tewas
termasuk juga rakyat Sumedang. Pangeran Panembahan sendiri berhasil meloloskan
diri ke Indramayu dan tiba pada bulan Oktober 1678. Serangan pasukan Banten ini
dianggap pengecut oleh rakyat Sumedang karena pada serangan pertama Banten,
Sumedang sanggup memukul mundur dan mengalahkan Banten. Oleh Sultan Banten,
Cilikwidara diangkat menjadi wali pemerintahan dengan gelar Sacadiparana
sedangkan yang menjadi patihnya adalah Tumenggung Wiraangun-angun dengan gelar
Aria Sacadiraja. Selama di Indramayu Pangeran Panembahan menggalang kekuatan
kembali dengan bantuan dari Galunggung, pasukan Pangeran Panembahan dapat
merebut kembali Sumedang setelah enam bulan berada di Sumedang, pada bulan Mei
1679 Cilikwidara menyerang kembali dengan pasukan lebih besar, yang akhirnya
Sumedang jatuh kembali ke tangan Cilikwidara, Pangeran Panembahan terpaksa
mundur kembali ke Indramayu. Pendudukan Sumedang oleh Cilikwidara tak
berlangsung lama pada bulan Agustus 1680 pasukan Cilikwidara ditarik kembali ke
Banten karena terjadi konflik antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan Sultan Haji
yang didukung oleh VOC, dalam konflik tersebut dimenangkan Sultan Haji. Sejak
itu kejayaan Sultan Banten berakhir. Sultan Haji berkata kepada VOC bahwa
Banten tidak akan mengganggu lagi Cirebon dan Sumedang, yang pada akhirnya
berakhirlah kekuasaan Banten di Sumedang. Pada tanggal 27 Januari 1681 Pangeran
Panembahan kembali ke Sumedang dan bulan Mei 1681 memindahkan pemerintahan dari
Tegalkalong ke Regolwetan (Sumedang sekarang) dan membangun gedung kebupatian
yang baru Srimanganti sekarang dipakai sebagai Museum Prabu Geusan Ulun Yayasan
Pangeran Sumedang, pembangunan Ibukota Sumedang yang baru tidak dapat
disaksikan oleh Pangeran Panembahan, pada tahun 1706 Pangeran Panembahan wafat
dan dimakamkan di Gunung Puyuh di samping makam ayahnya Pangeran Rangga Gempol
II. Pada tahun 1705 seluruh wilayah Jawa Barat dibawah kekuasaan kompeni VOC
Setelah wafatnya Pangeran Panembahan digantikan oleh putranya Raden Tanumaja
dengan gelar Adipati, bupati pertama kali yang diangkat oleh VOC. Pangeran
Rangga Gempol III Panembahan merupakan bupati paling lama masa pemerintahannya
hampir 50 tahun dari tahun 1656 sampai tahun 1705 dibandingkan dengan bupati –
bupati Sumedang lainnya.
Setelah
peristiwa penyerbuan pasukan Banten ke Sumedang, Pangeran Panembahan membentuk
sistem keamanan lingkungan yang disebut Pamuk terdiri dari 40 orang
pilihan, setiap pamuk mendapatkan sawah dari Pangeran Panembahan, sawah
tersebut boleh digarap dan diterima hasilnya oleh pamuk yang bersangkutan
selama ia masih bekerja sebagai pamuk. Sawah tersebut dinamakan Carik,
suatu sistem gaji yang bekerja untuk kebupatian. Carik disebut juga Bengkok
di daerah lain yang akhirnya sistem pemberian gaji ini untuk Pamong Desa.
Pangeran
Rangga Gempol III Panembahan menyisihkan sebagaian tanahnya miliknya sebagai
sumber penghasilan bupati, agar penghasilan bupati tidak lagi menjadi beban
rakyat. Tanah tersebut tidak boleh dibagi waris jika Pangeran Panembahan wafat
tetapi diturunkan lagi kepada bupati berikutnya secara utuh dan lengkap.
5. TUMENGGUNG TANUMADJA.
Pengganti
Pangeran Panembahan adalah putranya Raden Tanumadja (1706 – 1709), Raden
Tanumadja adalah bupati pertama yang diangkat oleh kompeni. Pengangkatannya pun
disertai syarat, yaitu harus menempuh masa percobaan, kesetiaan dan ketaatan
Raden Tanumadja terhadap pemerintah kompeni dan Raden Tanumadja dibawah
Pangeran Aria Cirebon sebagai atasannya karena Pangeran Aria Cirebon diangkat
menjadi Gubernur di Priangan.
Seperti di
ceritakan di atas pada tahun 1681 Ibukota Sumedang dipindahkan dari Tegal
Kalong ke Regolwetan oleh Pangeran Panembahan. Dalam membangun Ibukota sumedang
yang baru Pangeran Panembahan tidak sempat menyaksikan karena keburu wafat maka
pembangunan dilanjutkan oleh Putranya Raden Tanumadja, pada masa Pangeran
Panembahan membangun gedung kabupatian baru bernama Srimanganti yang
selanjutnya pembangunan gedung Srimanganti diselesaikan oleh Raden Tanumadja.
6. PANGERAN KARUHUN.
Setelah Tumenggung Tanumadja wafat, putranya
menggantikannya Raden Kusumahdinata VII (1709 – 1744) diangkat
menjadi bupati. Raden Kusumadinata memohon memakai gelar Rangga Gempol IV
seperti kakeknya. Pangeran Kusumadinata VII juga memusuhi Pangeran
Aria Cirebon karena Kusumadinata tidak ingin dibawah perintahnya. Sebelum wafat
Pangeran Kusumadinata menginginkan kabupatian-kabupatian di laut Jawa dan
Hindia di bawah kekuasaannya tetapi sebelum keinginannya tercapai keburu wafat,
setelah wafat dikenal sebagai Pangeran Karuhun. Pangeran Kusumadinata terkenal
sebagai bupati yang memajukan persawahan.
7. DALEM ISTRI RADJANINGRAT.
Menggantikan Pangeran Karuhun adalah puteri
sulungnya Dalem Istri Radjaningrat (1744 – 1759) karena para putera Pangeran
Karuhun belum ada yang dewasa. Dalem Istri Radjaningrat menikah dengan Dalem
Soerianegara putera Bupati Limbangan. Dalem Istri Radjaningrat mempunyai putera
sulung Raden Kusumadinata yang biasa disebut Dalem Anom yang kelak menjadi
bupati menggantikan kakeknya . Para putera Pangeran Karuhun oleh kompeni
dipandang tidak cukup cakap untuk menjadi bupati.
8. ADIPATI KUSUMADINATA / DALEM ANOM
Raden Kusumadinata VIII (1759 –
1761) diangkat menjadi bupati tetapi tidak lama hanya dua tahun karena keburu
wafat.
9. ADIPATI SURIANAGARA.
dipati Kusumadinata wafat maka digantikan oleh
saudaranya Raden Surianagara setelah menjadi bupati bergelar Adipati
Surianagara (1761 – 1765). Adipati Surianagara mempunyai seorang putra bernama
Raden Kusumadinata / Djamu setelah menjadi bupati dikenal sebagai Pangeran
Kornel.
10. ADIPATI SURIALAGA
Setelah Adipati Surianagara wafat tidak digantikan
oleh puteranya Raden Djamu karena masih anak-anak maka digantikan oleh
saudaranya Raden Surialaga (1765 – 1773) yang bergelar Adipati Kusumadinata.
Wafatnya Raden Surialaga meninggalkan 6 orang putera dan puteri,putra sulungnya
Raden Ema ketika itu masih berusia 9 tahun. Maka timbullah masalah mengenai
penggantian bupati, putera Raden Surianagara yaitu Raden Djamu ketika itu belum
dewasa baru berusia 11 tahun. Oleh karena itu kompeni mengangkat Raden Adipati
Tanubaya Bupati Parakanmuncang menjadi bupati Sumedang.
Sejak itu Sumedang memasuki masa bupati penyelang
selama tiga periode, sampai akhirnya kelak Raden Djamu menjadi bupati.
12. ADIPATI TANUBAYA (Bupati Penyelang)
Pengangkatan Adipati Tanubaya (1773 – 1775) dari
Parakanmuncang menjadi bupati Sumedang karena memungkinkan, memang keadaan
tidak mungkin mengangkat bupati dari keturunan Sumedang dikarenakan pengganti
dari Sumedang belum menginjak dewasa.
13. TUMENGGUNG PATRAKUSUMA (Bupati
Penyelang)
Pengganti Adipati Tanubaya adalah menantunya Tumenggung
Patrakusuma (1775 – 1789) yang waktu itu menjabat sebagai Bupati
Parakanmuncang, pengangkatan Tumenggung mendapat dukungan dari 4 umbul terutama
di Sumedang dan setelah mendapat dukungan Patrakusuma berhenti menjadi Bupati
Parakanmuncang. Mengenai cerita Raden Djamu menikah dengan putri Tumenggung
Patrakusuma di cerita di bab Pangeran Kornel selanjutnya.
Pada masa pemerintahannya Tumenggung Patrakusuma
melakukan pelanggaran maka ia diberhentikan oleh kompeni dari kedudukan Bupati
Sumedang kemudian diasingkan ke Batavia.
14. ARIA SATJAPATI
Sebagai pengganti Patrakusuma maka diangkat Raden
Satjapati (1789 – 1791) yang waktu itu menjabat sebagai patih Sumedang, setelah
diangkat menjadi bupati memakai gelar Adipati. Posisi Satjapati menjadi bupati
tidak berlangsung lama karena oleh kompeni dianggap kurang cakap maka
diturunkan pangkatnya menjadi patih kembali.
Untuk mengisi kekosongan bupati, Satjapati
mengirim surat ke Bupati Cianjur Wiratanudatar IV memohon agar Raden
Surianagara / Djamu waktu itu menjabat sebagai Wadana Cikalong diusulkan untuk
menjadi Bupati Sumedang, yang akhirnya usul tersebut di terima oleh kompeni dan
Raden Surianagara / Raden Djamu diangkat menjadi Bupati Sumedang.
15. PANGERAN KORNEL /ADIPATI SURIANAGARA
III
Setelah wafatnya Bupati Sumedang Adipati
Surianagara II (1765 – 1773), posisi bupati Sumedang diisi oleh bupati
penyelang dari Parakanmuncang Adipati Tanubaya (1773 – 1775) yang diangkat oleh
kompeni karena putra Adipati Surianagara II, Raden Jamu masih kecil. Setelah
wafatnya Adipati Tanubaya digantikan oleh Tumenggung Patrakusuma putranya
Setelah menjadi bupati Tumenggung Patrakusuma (1775 – 1789) memakai gelar
Adipati Tanubaya II. Setelah menginjak dewasa Raden Djamu dinikahkan dengan
putri Adipati Tanubaya II Nyi Raden Radja Mira mempunyai seorang puteri bernama
Nyi Raden Kasomi. Adipati Tanubaya II mendapat hasutan dari Demang Dongkol yang
berambisi untuk mempunyai anak atau cucu menjadi bupati. Akhirnya Raden Djamu
mengetahui niat buruk mertuanya ingin membunuhnya, segera Raden Djamu
meloloskan diri ke Limbangan karena bupati Limbangan merupakan saudaranya, di
limbangan posisi Raden Djamu tidak aman terus melanjutkan perjalanan ke Cianjur
untuk bertemu dengan kerabat ayahnya Bupati Cianjur Adipati Aria Wiratanudatar
IV dan Raden Djamu diangkat sebagai Kepala Cutak (Wedana) Cikalong dengan nama
Raden Surianagara III. Setelah Adipati Tanubaya II diasingkan ke Batavia oleh
kompeni ditunjuk sebagai pengganti sementara kepala pemerintahan Sumedang
dipegang oleh Patih Sumedang Aria Satjapati (1789 – 1791). Aria Satjapati
mengirim surat kepada Adipati Aria Wiratanudatar IV memohon agar mengusulkan
Raden Djamu atau Surianagara III diangkat menjadi bupati Sumedang kepada
kompeni. Usul dari Wiratanudatar IV diterima oleh kompeni dan diangkatlah Raden
Djamu / Surianagara III menjadi bupati Sumedang dengan gelar Pangeran
Kusumadinata IX (1791 – 1828).
Pada tahun 1811 masa pemerintahan Gubernur
Jenderal William Daendels, merintahkan semua bupati di tanah Jawa untuk
membantu pembangunan jalan pos antara Anyer dan Banyuwangi. Di Sumedang jalan
pos tersebut harus melalui gunung cadas yang keras. Pangeran Kusumadinata
menghadapi pekerjaan yang berat mau tidak mau harus dilaksanakan oleh rakyatnya
dan tanggung jawabnya sebagai bupati, setelah mengumpulkan rakyatnya Pangeran
Kusumadinata menganjurkan dan mengajak rakyatnya untuk membantu pelaksanaan
pembuatan jalan pos tersebut, rakyat Sumedang menyatakan kesanggupannya
melaksanakan tugas itu.. Pada tanggal 26 November 1811 mulailah pembobokan gunung
cadas, rakyat Sumedang pun menjadi korban “kerja paksa” Belanda, banyak rakyat
menjadi korban akibat sulitnya medan jalan yang dibuat, rakyat dipaksa untuk
menembus bukit cadas dengan peralatan seadanya. Pembangunan jalan pun tidak
selesai pada waktunya. Daendels meminta bupati agar rakyat dikerahkan
habis-habisan untuk menyelesaikan, Pangeran Kusumadinata menolak karena tidak
tega melihat rakyatnya menderita.
Ketika Daendels memeriksa pembuatan jalan
tersebut, Pangeran Kusumadinata menunggunya. Sewaktu Daendels menyodorkan
tangan kanannya untuk mengajak bersalam, Pangeran Kusumadinta menyambutnya
dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan memegang keris Nagasastra siap
menghadapi segala kemungkinan, semula Daendels marah karena sikap bupati
dianggap kurang ajar. Akan tetapi setelah mendengar penjelasan dari Pangeran
Kusumadinata bahwa ia berani membantah perintahnya (simbolis ditunjukan dengan
menyalami memakai tangan kiri) demi membela rakyatnya yang menjadi korban kerja
paksa Daendels dan Daendels pun salut atas keberanian Pangeran Kusumadinata.
Akhirnya Daendels merintahkan pasukan zeni Belanda untuk membantu menyelesaikan
pembuatan jalan dengan mengunakan dinamit membobok gunung cadas, akhirnya 12
Maret 1812 pembangunan jalan pos di Sumedang selesai, sehingga daerah itu
disebut “Cadas Pangeran”.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal G.A.
Baron Van Der Capllen (1826 – 1830) Pangeran Kusumadinata mendapat pangkat
militer sebagai Kolonel dari pemerintah Belanda atas jasanya mengamankan daerah
perbatasan dengan Cirebon dan menumpas para perampok dan pemberontak terutama
yang mencoba masuk ke Sumedang dari Cirebon., sebutan kolonel dalam lidah
rakyat berubah menjadi “Kornel” sehingga terkenal sebagai Pangeran
Kornel .
Wilayah Sumedang waktu itu hampir sama dengan
wilayah pada masa Rangga Gempol III, wilayah Sumedang berbatasan dengan
Parakanmuncang, Limbangan, Sukapura, Talaga dan kabupatian – kabupatian
Cirebon, kemudian menyusuri kali Cipunagara sampai laut Jawa sepanjang pantai
utara sampai Pamanukan.
Selain keberaniannya menentang perintah Daendels
dan pemerintah Kerajaan Belanda / Inggris, Pangeran Kusumadinata adalah bupati
yang jujur, berani, cerdas, paling pandai dan paling aktif dari semua para
bupati di Priangan. Keadilan, kejujuran, kecerdasan, keberanian, kebijaksanaan
dan kegagahan Pangeran Kornel dalam melaksanakan kewajibannya penuh rasa
tanggung jawab dan mengabdi kepada rakyat sepenuh jiwa raganya. Ia pun tempat
meminta nasehat bupati lainnya. Pangeran Kusumadinata sewaktu mulai menjabat
bupati membuka lahan hutan menjadi areal perkebunan kopi yang subur dan
berhasil, sehingga keadaan Sumedang lebih baik dibandingkan masa bupati-bupati
sebelumnya (penyelang). Residen Priangan Van Motman menyatakan Pangeran
Kusumadinata adalah bupati pangkatnya paling tinggi antara para bupati di
Priangan. Atas jasa dan kesetiaannya pemerintahan Belanda memberi bintang jasa
dari mas.
16. ADIPATI KUSUMAYUDA
Pangeran Kornel digantikan oleh puteranya Adipati
Kusumayuda (1828 – 1833). Adipati Kusumayuda menuruni watak ayahnya Pangeran
Kornel, bupati sering turut bertempur berserta saudaranya Adipati Adiwijaya
melawan para pengacau atau perampok di Sumedang . Perawakan Adipati Kusumayuda
yang tinggi besar oleh karena itu disebut pula sebagai Dalem Ageung.
17. ADIPATI KUSUMADINATA / DALEM ALIT.
Wafatnya Adipati Kusumayuda tidak digantikan oleh
puteranya Raden Somanagara karena menunggu dewasa. Maka putera Adipati
Adiwijaya, Adipati Kusumadinata X (1833 – 1834) menggantikannya
tetapi tidak berlangsung lama karena keburu wafat.
18. TUMENGGUNG SURIALAGA.
Sebagai penggantinya sementara diangkat
Tumenggung Surialaga (1834 – 1836) ketika itu menjadi Patih Polisi tetapi tidak
berlangsung lama juga baru satu tahun menjabat bupati meminta pensiun.
19. PANGERAN ARIA SURIA KUSUMAH ADINATA
Pada tangggaraal 20 Januari 1836 Raden Somanagara
dilantik menjadi Bupati Sumedang dengan gelar Tumenggung Suria Kusumah Adinata
(1836 – 1882).
Kecerdasan, kepemimpinan dan kesetiaannya
pengabdian kepada rakyat terlihat dengan jelas. Kebutuhan masyarakat diutamakan
seperti pembuat jalan, pengairan, pertanian dan sebagainya untuk meningkatkan
taraf hidup masyarakat. Segala bentuk kewajiban rakyat yang memberatkan di
bidang pertanian dihapuskan pada 1885 oleh pemerintah seperti peraturan
penanaman nila.
Makam Pangeran Sugih di Gunung Puyuh
Pada tanggal 14 Agustus 1841 Surat Keputusan
pemerintah Kerajaan Belanda no. 24 Tumenggung Suria Kusumah Adinata mendapat
gelar Adipati dan berdasarkan Surat Keputusan tanggal 31 Oktober 1850 mendapat
gelar Pangeran.
Pangeran Aria Suria Kusumah Adinata wafat pada
tanggal 22 September 1882 dimakamkan di Gunung Puyuh, Pangeran Aria Suria
Kusumah Adinata dikenal juga sebagai Pangeran Sugih karena sugih harta,
kekayaan dan putera.
20. PANGERAN ARIA SURIA ATMADJA
Setelah Pangeran Suria Kusumah Adinata wafat
digantikan oleh putranya Raden Sadeli dilahirkan di Sumedang tanggal 11 Januari
1851 . Sebelum menjadi bupati Sumedang Raden Sadeli menjadi Patih Afdeling
Sukapura – kolot di Mangunreja. Pada tanggal 31 Januari 1883 diangkat menjadi
bupati memakai gelar Pangeran Aria Suria Atmadja (1883 – 1919). Pangeran Aria
Suria Atmadja merupakan pemimpin yang adil, bijaksana, saleh dan taqwa kepada
Allah. Raut mukanya tenang dan agung, memiliki displin pribadi yang tinggi dan
ketat.
Wibawa Pangeran Aria Suria Atmadja sangat besar
yang memancar dari 4 macam sumber :
a. Kedudukannya sebagai bupati.
b. Patuh dan taqwa dalam agama.
c. Kepemimpinannya yang tinggi.
d. Displin yang tinggi.
Pangeran Aria Suria Atmadja ketika mendapat
penghargaan bintang jasa.
Pangeran Aria Suria Atmadja memiliki jasa dalam
pembangunan Sumedang di beberapa bidang, antara lain :
1. BIDANG PERTANIAN
Membangun aliran irigasi di sawah-sawah,
penanaman sayuran, melakukan penghijauan di tanah gundul dan membangun lumbung
desa. Pangeran Aria Suria Atmadja memberi ide bagaimana meningkatkan daya guna
dan hasil guna pengolahan tanah, pembuatan sistem tangga (Terasering) pada
bukit-bukit.
2. BIDANG PERTERNAKAN
Untuk meningkatkan hasil ternak yang baik di
Sumedang, di datangkan sapi dari Madura dan Benggala dan kuda dari Sumba atau
Sumbawa untuk memperoleh bibit unggul.
3. BIDANG PERIKANAN
Pelestarian ikan di sungai diperhatikan dengan
khusus, jenis jala ikan ditentukan ukurannya dan waktu penangkapannya agar ikan
di sungai selalu ada. Penangkapan ikan dengan racun atau peledak di larang.
4. BIDANG KEHUTANAN.
Daerah-daerah gunung yang gundul ditanami
pohon-pohon agar tidak longsor., selain dibuat hutan larangan / tertutup yaitu
hutan yang tidak boleh diganggu oleh masyarakat demi kelestarian tanaman dan
binatangnya. Binatang dan pohon langka mendapat pelindungan khusus.
5. BIDANG KESEHATAN.
Penjagaan dan pemberantasan penyakit menular
mendapat perhatian besar. Bayi dan anak-anak diwajibkan mendapatkan suntikan
anti cacar diadakan sampai ke desa-desa. Masyarakat dianjurkan menanam tanaman
obat-obatan di perkarangan rumahnya.
6. BIDANG PENDIDIKAN
Pada tahun 1914 mendirikan Sekolah Pertanian di
Tanjungsari dan wajib belajar diterapkan pertama kalinya di Sumedang. Pada
tahun 1915 di Kota Sumedang telah ada Hollandsch Inlandsche School ,
mendirikan sekolah rakyat di berbagai tempat Sumedang dan membangun kantor
telepon.
7. BIDANG PEREKONOMIAN
Pada tahun 1901 membangun “Bank Prijaji” dan pada
tahun 1910 menjadi “Soemedangsche Afdeeling Bank”. Pada tahun 1915 mendirikan
Bank Desa untuk menolong rakyat desa.
8. BIDANG POLITIK
Pada tahun 1916 mengusulkan kepada pemerintah
kolonial agar rakyat diberi pelajaran bela negara / mempergunakan senjata agar
dapat membantu pertahanan nasional. Ide ini dituangkan dalam buku ‘Indie
Weerbaar” / Ketahanan Indonesia, tapi usul ini ditolak pemerintah Belanda.
Pangeran Aria Suria Atmadja tidak mengurangi cita-citanya, disusunlah sebuah
buku yang berjudul ‘ Ditiung Memeh Hujan” dalam buku itu dikemukakan lebih jauh
lagi agar Belanda kelak perlu mempertimbangkan dan mengusahakan kemerdekaan
bagi rakyat Indonesia. Pemerintah kerajaan Belanda memberi reaksi hingga dibuat
benteng di kota Sumedang, benteng gunung kunci dan Palasari.
9. BIDANG KEAGAMAAN
Bidang keagamaan mendapat perhatian yang besar
dari Pangeran Aria Suria Atmadja. Mesjid dan pesantren mendapat bantuan penuh,
peningkatan pendidikan agama mulai dini
10. BIDANG KEBUDAYAAN
Bidang kebudayaan dapat perhatian besar dari
Pangeran Aria Suria Atmadja khususnya Tari Tayub dan Degung. Selain ahli dalam
sastra sunda, Pangeran Aria Suria Atmadja pun membuat buku dan menciptakan lagu
salah satunya Lagu Sonteng.
11. BIDANG LAINNYA
Membangun rumah untuk para kepala Onderdistrik,
dibangunnya balai pengobatan gratis, dan menjaga keamanan diadakan siskamling.
Masih banyak jasa lainnya dan atas segala jasanya
dalam membangun Sumedang, baik itu pembangunan sarana fisik tetapi juga
pembangunan manusianya. Pangeran Aria Suria Atmadja mendapat berbagai
penghargaan atau tanda jasa dari pemerintah kolonial Belanda salah satunya
tanda jasa Groot Gouden Ster (1891) dan dianugerahi beberapa bintang jasa tahun
1901, 1903, 1918, Payung Song-song Kuning tahun 1905, Gelar Adipati 1898, Gelar
Aria 1906 dan Gelar Pangeran 1910.
Pada masa pemerintahan Pangeran Aria Suria
Atmadja mendapatkan warisan pusaka-pusaka peninggalan leluhur dari ayahnya
Pangeran Aria Suria Kusumah Adinata , Pangeran Aria Suria Atmadja mempunyai
maksud untuk mengamankan, melestarikan dan menjaga keutuhan pusaka. Selain itu
agar pusaka merupakan alat pengikat kekeluargaan, kesatuan dan persatuan wargi
Sumedang, maka diambil langkah sesuai agama Islam Pangeran Aria Suria Atmadja
mewakafkan pusaka ia namakan sebagai “barang-barang banda”, “kaoela pitoein”,
“poesaka ti sepuh”, dan “asal pusaka ti sepuh-sepuh” kepada Tumenggung
Kusumadilaga pada tanggal 22 September 1912, barang yang diwakafkannya itu
tidak boleh diwariskan, tidak boleh digugat oleh siapa pun juga, tidak boleh
dijual, tidak boleh dirobah-robah, tidak boleh ditukar dan diganti. Dengan
demikian keutuhan, kebulatan dan kelengkapan barang pusaka terjamin. Wakaf
mulai berlaku jika Pangeran Aria Suria Atmadja berhenti sebagai bupati Sumedang
atau wafat.
Pada tahun 1919 Pangeran Aria Suria Atmadja
berhenti sebagai bupati Sumedang dengan mendapat pensiun. Pada tanggal 30 Mei
1919 dilakukan penyerahan barang “Asal pusaka ti sepuh-sepuh” dan “Tina usaha
kaula pribadi” kepada Tumenggung Kusumadilaga yang menjadi bupati Sumedang
menggantikan Pangeran Aria Suria Atmadja .Tumenggung Kusumadilaga baru menerima
barang-barang yang diwakafkan kepadanya dengan ikhlas dan bersedia mengurusnya
dengan baik seperti dalam suratnya tertanggal 18 Juni 1919.
Monumen Lingga di tengah alun-alun Sumedang untuk
meng-
hormati jasa – jasa Pangeran Aria Suria Atmadja.
Pangeran Aria Suria Atmadja wafat pada tanggal 1
Juni 1921 dimakamkan di Ma’la Mekah ketika menunaikan ibadah haji sehingga di
kenal sebagai Pangeran Mekah. Untuk menghormati jasa-jasanya pada tanggal 25
April 1922 didirikan sebuah monumen berbentuk Lingga di tengah alun-alun kota
Sumedang, yang diresmikan Gubernur Jenderal D. Fock serta dihadiri para bupati,
residen se-priangan serta pejabat-pejabat Belanda dan pribumi.
21. TUMENGGUNG ADIPATI KUSUMADILAGA
Pangeran Aria Suria Atmadja digantikan oleh
Tumenggung Aria Kusumadilaga (1919 – 1937) dikenal juga sebagai Dalem Bintang
merupakan saudaranya.. Pada masa pemerintahannya mengalami perkembangan
Volksraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda), partai politik dan pemberontakan
komunis di Jawa Barat.
22. TUMENGGUNG ARIA SURIA KUSUMAH ADINATA
Tumenggung Adipati Kusumadilaga digantikan oleh
Raden Suria Sumantri atau Dalem Aria, setelah menjadi bupati memakai gelar
Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata (1937 – 1946) Dalem Aria merupakan bupati
tiga jaman, pertama jaman Hindia Belanda, kedua Jepang dan Republik Indonesia.
24. RADEN HASAN SURIA SACAKUSUMAH.
Raden Hasan Suria Sacakusumah / “Bung Hasan” (1946
– 1947) diangkat sebagai bupati perjuang oleh Republik indonesia. Masa
pemerintahannya ditandai perkembangan gerakan Darul Islam (DI) dan Infansi
militer Belanda ke dua ke Indonesia, bupati dan rakyat Sumedang berangkat
mengungsi ke pedalaman. Sehingga gedung kabupatian dan Srimanganti ditempati
tentara Belanda. Pada masa jabatannya terdapat tiga macam pemerintahan di
Sumedang, pemerintahan Belanda, pemerintahan Negara Pasundan dan Republik
Indonesia .
Berhubung Bung Hasan belum kembali dari
pengungsian maka pemerintahan Hindia Belanda mengangkat Tumenggung Muhamad
Singer sebagai Bupati Sumedang. Pada masa Muhamad Singer, Raden Hasan Suria
Sacakusumah diangkat kembali menjadi bupati pada tahun 1949 menggantikan
Muhamad Singer berangkat ke Belanda, masa jabatannya hanya satu tahun kemudian
diserahkan kepada Raden Abdulrachman Suriasaputra.
25. TUMENGGUNG MUHAMAD SINGER
Tumenggung Muhamad Singer (1947 – 1949) merupakan
keponakan dari Pangeran Aria Suria Atmadja. Sebelum diangkat menjadi Bupati
Sumedang tahun 1938 adalah seorang Pamong Praja yang bertugas di Irian Barat,
Australia, Sulawesi dan Kalimantan Timur di keresidenna. Pada tanggal 5
Desember 1947 diangkat menjadi Bupati Sumedang.
Masa jabatannya Tumenggung Muhamad Singer banyak
menghadapi banyak masalah salah satunya pemberontak Darul Islam (DI) dan
pertempuran antara RI dan Belanda. Sampai akhirnya terbentuk Republik Indonesia
Serikat (RIS) dan akhir masa jabatannya diberi tugas belajar ke negeri Belanda
untuk mengikuti usaha pembangunan di berbagai negara yang dilanda perang dunia
ke-2, sekembalinya dari Belanda ditempatkan di bagian Agraria Kementerian Dalam
Negeri Republik Indonesia.
Pada tahun 1950 merupakan akhir rangkaian para
bupati Sumedang keturunan leluhur Sumedang dari masa Prabu Tajimalela 721
sampai Tumenggung Muhamad Singer 1950.
sumber
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar
Terima Kasih Sudah Berkunjung ,, Jangan Lupa Berikan Komentarnya Untuk Artikel Ini