Wajah Nabi Muhammad saw.
dilukiskan dengan kata-kata sebagai wajah yang berkulit putih, bermata
hitam, beralis tebal, gigi putih teratur dan rambut bergelombang. Tapi
jika tidak pernah sekalipun melihat wajah Nabi lalu bagaimana seseorang
begitu sangat yakin telah bertemu dan melihat wajah Nabi dalam mimpi,
atau sebagian yang lain lalu melukiskan wajahnya?
oleh :Rusdi Mathari
SUATU hari, kira-kira empat
sampai lima tahun silam, saya berkunjung ke rumah seorang aktivis partai
politik untuk keperluan sebuah wawancara. Di rumahnya di Depok, pinggir
selatan Jakarta, saya diajak masuk ke ruang kerjanya. Banyak buku,
literatur, dan jurnal. Orangnya juga berapi-api menjelaskan pendirian
partai politiknya yang kala itu bermaksud mencalonkan SBY-JK menjadi
Presiden dan Wakil Presiden RI dan fasih menjelaskan ajaran dan dalil
agama. Di akhir wawancara, ketika saya hendak keluar dari ruang
kerjanya, di samping pintu masuk, saya bertatap dengan sebuah foto atau
tepatnya lukisan wajah seseorang.
Kepala orang itu tertutup
sebagian oleh serban, warnanya polos dan tak bermotif. Wajahnya terlihat
bagai pemuda yang matang dan ganteng mirip wajah-wajah orang Arab
berkulit putih bersih. Hidungnya mancung, matanya tajam dan bibir
tipisnya tampak tersenyum sementara kumis dan jenggotnya terlihat tipis
dan terawat. Secara umum, gambarannya hampir mirip dengan gambar-gambar
wajah Yesus yang pernah beberapa kali saya lihat di rumah-rumah beberapa
teman saya yang beragama Nasrani. Tapi aktivis partai politik itu
beragama Islam. “Siapa orang ini,” tanya saya kemudian.
Semula saya menduga orang itu
akan menjawab Syekh Abdul Qadir al Jailani seorang sufi besar atau Ali
bin Abi Thalib ra., sepupu Nabi saw. Dugaan saya terutama didasari oleh
pengalaman bahwa gambar-gambar dari dua orang itu, pernah saya jumpai di
beberapa rumah teman-teman saya yang beragama Islam. Dugaan saya salah.
“Itu Nabi,” jawab dia serius meskipun tetap berusaha tersenyum.
“Oh, wajah Nabi?” saya bertanya
kembali sambil berusaha membungkus mimik wajah saya yang sedikit
terkejut. Aktivis tadi tak bersedia menjawab lebih jauh. Saya pulang.
Sudah menjadi pengetahuan umum,
bahwa orang Islam mengharamkan wajah Nabi untuk digambar atau
divisualkan. Setiap kali ada peristiwa yang berhubungan dengan
penggambaran wajah Nabi, karena itu hampir bisa dipastikan mayoritas
umat Islam juga akan selalu marah dan melakukan protes. Penggambaran
wajah Nabi lantas akan dianggap sebagai penghinaan terhadap ajaran
Islam, dianggap tidak menghormati ajaran Islam dan Nabi itu sendiri.
Itu sebabnya dalam setiap cerita
bergambar seperti komik ataupun film, keseluruhan bentuk fisik Nabi
selalu digantikan oleh cahaya. Kadang di tengah cahaya itu ditulis lafal
Arab “Muhammad.” Sungguh saya sendiri tak paham dasar pengharaman
tersebut, karena sejauh pengetahuan saya tidak ada dalil al Quran dan
hadis yang secara benar melarang penggambaran bentuk fisik Nabi termasuk
wajahnya. Dulu ketika bersekolah di madrasah, ustaz atau kiai yang saya
tanya akan hal itu hanya menjelaskan bahwa pengharaman atas
penggambaran wajah Nabi dimaksudkan agar Nabi tidak dikultuskan.
Pengkultusan terhadap seseorang bahkan meskipun dia berpredikat sebagai
nabi dan kekasih Allah akan menyebabkan orang tergelincir pada jurang
syirik, sebuah perbuatan yang justru ditentang keras oleh Nabi. Menurut
para kiai itu, Nabi sejak awal memang tidak mau dikultuskan karena hanya
menginginkan manusia mengultuskan Allah. Jawaban yang sederhana dan
cukup masuk akal, meskipun tentu saja membuat saya terus penasaran.
Kejadian sampul majalah Tempo
edisi 50/XXXVI/04 - 10 Februari 2008 yang menukil lukisan Leonardo da
Vinci berjudul The Last Supper atau “makan malam terakhir” dan mengganti
wajah Yesus dengan Soeharto dan murid-murid Yesus dengan anak-anak
Soeharto— yang lantas menuai protes dari beberapa orang yang
mengatasnamakan umat Katolik, mengingatkan saya pada larangan untuk
menggambar wajah Nabi. Saya lalu ingat akan lukisan wajah yang
disebut-sebut sebagai wajah Nabi di rumah aktivis partai politik, di
Depok itu dan ingat akan penjelasan para kiai.
Seorang teman bercerita, suatu
malam dia bermimpi bertemu dengan Nabi. Benar tidaknya wajah di mimpi
itu lantas disampaikan kepada seorang kiai yang lantas menjawab, bahwa
jika benar bermimpi bertemu dengan Nabi, maka orang dan tentu saja wajah
yang hadir dalam mimpi itu adalah benar Nabi karena iblis tidak bisa
meniru wajah Nabi. “Jaminannya adalah surga,” kata kiai itu.
Saya tersenyum mendengar
penjelasan kiai itu bukan karena soal jaminan surga itu. Saya hanya
berpikir, iblis mungkin saja memang tak bisa menyamar dan mengganti
wujud menjadi Nabi tapi bagaimana mungkin seseorang bisa yakin bahwa dia
bermimpi telah bertemu dengan Nabi sementara dia sendiri seumur
hidupnya belum pernah melihat wajah Nabi? Tidakkah dalam kasus mimpi
semacam itu, bisa saja iblis atau khayalan lain yang datang dan kemudian
mengaku-ngaku sebagai Nabi, karena si pemimpi itu sendiri tak tahu atau
tidak pernah melihat wajah nabinya? Dan tidakkah wajah Nabi selama ini,
hanya bisa dilukiskan lewat kata-kata dan tidak dalam bentuk fisiknya?
Namun saya juga paham di antara
ketaatan untuk tidak memvisualkan wajah Nabi, sebagian untuk tidak
menyebut seluruh umat Islam juga selalu merindukan dan karena itu ingin
melihat wajah nabinya. Mungkin karena itu, di Iran banyak orang yang
menyimpan poster atau lukisan wajah seseorang yang diakui sebagai wajah
Nabi ketika masih remaja belia. Sebagian menyebutkan bahwa gambar itu
dilukis oleh pendeta Bahira yang sempat mengiringi Nabi bersama pamannya
ke Siria (dulu berjuluk negeri Syam).
Mengutip artikel dari majalah
ISIM Review 17, Spring 2006, berjudul “The Story of Picture Shiite
Depictions of Muhammad, Pierree Centlivre & Micheline
Centlivres-Demont” situs madinah-al-hikmah.net menyebutkan, kaum Syiah
di Iran memang mempunyai pengalaman yang cukup panjang dalam
menggambarkan keluarga Nabi saw dan Nabi sendiri. Pada akhir-akhir
dekade 90–an poster yang menggambarkan wajah Nabi di cetak di Iran dan
menjadi salah satu poster terlaris. Dalam poster itu menggambarkan wajah
masa muda dari Nabi.
Bagi mereka yang selalu memandang
curiga terhadap orang dan ajaran Islam, pengharaman untuk menggambarkan
wajah Nabi niscaya juga menjadi peluang untuk mengolok-olok. Kasus
karikatur Nabi yang dimuat oleh harian Jylland-Posten Denmark pada
kuartal terakhir 2005 adalah salah satu contohnya. Banyak orang Islam
protes, sembari diam-diam tetap merindukan untuk melihat wajah Nabi:
Sebuah wajah yang diceritakan oleh banyak hadis berkulit putih, bermata
hitam, beralis tebal, gigi putih teratur dan rambut bergelombang. Wajah
yang mencerminkan keindahan, keremajaan dan keserasian yang bahkan konon
mengalahkan ketampanan Nabi Yusuf as., seorang nabi yang telah membuat
banyak perempuan tergila-gila hanya dengan melihat wajahnya.
Tiba-tiba Voja Alfatih, anak saya
yang berumur enam setengah tahun menghampiri saya. Dia membawa komik
yang menceritakan kisah hidup Nabi. Tergambar di komik, wajah Nabi yang
“diwakili” lafal Arab “Muhammad” itu. Dia pun bertanya kepada saya
kenapa wajah Nabi tak seperti wajah kita? Saya jawab, “Bukan berbeda
tapi kita diminta untuk tidak menggambarnya.” Wajah Voja tampak semakin
bingung.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar
Terima Kasih Sudah Berkunjung ,, Jangan Lupa Berikan Komentarnya Untuk Artikel Ini